By : Anah Suhaenah
Matahari diluar tadi bersinar galak membiarkan peluh
membanjiri badan. Seperti pejabat negara, begitu keluar dari mobil aku langsung
dikawal, terkekeh bedanya aku disambut teriakkan cemoh dan berondong pertanyaan
kepo wartawan, tak lupa berbagai jepretan kamera mengambil gambarku. Tak
mengindahkan tangan yang sakit akibat diborgol aku memasuki hotel prodeo.
Hidup ini keras dan rapuh itu yang
kupelajari. Keras karena kau harus selalu bertahan dan rapuh ketika kau
tergilas abu tak bisa bertahan. Aku harus apa… aku harus apa.. otak ini terus
berpikir mencari jalan keluar dan tangan mulai gemetaran saking takutnya.
Kehidupan orang dewasa begitu pelik dibicarakan apalagi sepertiku yang berada
dibawah garis kemiskinan. Jalanan adalah sahabat bagiku, entah itu halal atau
haram lagipula sudah lupa aku dimana Tuhan. Kerasnya hidup telah menutup mata
hati segala yang mereka sebut laik adalah kemewahan tersendiri yang kubenci.
Semua orang butuh uang dan aku
sakau uang. Teman teman yang lain mendapatkannya dengan mencopet, menipu bahkan
menjual keperawanan dan melacur di ruamh pedosaan itu hal yang lumrah disini
akan kau temui sejumblah kisah menyedihkan seperti kami di bagai kota
metropolitan, aku mendapatkan uang dengan cara yang lebih berkelas. Miris,
awalnya kupikir begitu namun lambat laun menjadi hal yang biasa bahkan sering
kulihat tak jarang kupraktekkan ‘’ jahat ‘’ tuli telingaku mendengarnya sekali
lagi tentang uang ketika keadaan terdesak berbagai aksi nekat kulakukan hanya
untuk uang. Defisi suatu benda yang membawa kebahagiaan bagi setiap orang.
Keluarga ? apa itu keluarga ?
sesuatu yang kupunya namun enggan kuingat. Masalah selalu muncul sebagai
tantangan di masa muda yang penuh dengan pergolakkan, kelabilan, egois dan
keinginan untuk bebas. Ketika kupikir lagi sekarang, betapa mengecewakannya aku
dulu. Usai 15, aku kabur dari rumah
memilih jalanan untuk bertahan hidup. Masih kuingat seraut wajah ibu
yang penuh air mata terisak pilu menahanku dari pergi, lalu ayah dengan wajah angkuhnya
mempertahankan nilai nilai moral keluarga. Aku selalu mencintai wanita penuh
kasih sayang itu disaat semua orang mengangapku sampah ia masih menerimaku yang
telah seperti ini. Terakhir kali bertemu dengannya 3 bulan lalu di tanah
perkuburan yang mewangi kembang. Tergugu terisak aku dan hujan, kami menangis
bersama.
Terlepas dari itu kulanjutkan
hidupku yang berlumpur dosa ini. Rumit dijelaskan namun keluargaku tercerai
berai. Lelaki tua itu entah dimana keberadaannya setelah kudengar telah pensiun
dini, Melia adik kecilku mungkin sekarang berusia remaja kuharap tidak
sepertiku yang pembangkang, apa kabarnya? Dalam hatiku terdalam jujur ingin
pulang namun terlalu jauh untuk kembali, lihat sekarang! Aku Matheo si Bandar
Narkoba kelas kakap. Rekor pertemuanku dengan polisi dan pertarunganku dengan
senjata api telah melegenda diantara teman teman seperjuangan lainnya, tak
dapat diragukan lagi. Namun kini..
‘’ Dengan ini
Hakim memutuskan saudara Matheo Regulus atas daqwaan kepemilikan ganja seberat
50 kg dijatuhi hukuman gantung !! ‘’
‘’ Tok..
Tok..Tok.. ‘’ Suara ketukan palu Pak Hakim begitu mengosongkan jiwa aku tak tau
rasanya sebegitu menghampakan seperti ini. Tak terasa air mata mengalir dipipi
menyusul rasa sesak membuncah di dada begitu tiang gantungan membayang dimata.
‘’ Ganja.. 50 kg.. gantungan.. hukum
mati.. aku.. oh Tuhan.. ‘’ aku tau, begitu tak tau dirinya aku tersadar
mengingat Tuhan pada waktu yang sedemikian terlambat seperti sekarang.
‘’ Aku harus apa.. aku harus apa..’’
nafasku tercekat mengingat pelukan terakhir ibu yang membelaiku dengan tangis.
Lalu semuanya kosong, perlahan dingin dan yang kupijak hanya gelap.
Pers memang wadah menyalurkan
berita. Beberapa hari kemudian sebuah berita menyebar menjadi trending topik
nasional. SEMALAM SEBELUM MENGHADAP TIANG GANTUNGAN TERPIDANA NARKOBA INISIAL
M-R BUNUH DIRI TRAGIS.
Ibu, kumohon peluk
aku lagi.