Paradox
Case
epidose 02
Ingatan
masa lalu
Mobil
berbadan putih dan di lengkapi corak biru dan merah di pinggirnya, serta
dilengkapi dengan sirene yang berteriak kencang menghantarkan Nona Lusi menuju
kantor polisi. Orang yang menghilangkan nyawa orang lain hanya untuk cinta
buta. Aku memang bukan kali pertama menangani kasus seperti ini, tapi dalam
kasus ini ada yang beda. Aku bertemu dengan sekumpulan remaja yang memiliki
minat yang sama denganku, dari mata mereka aku sudah mengetahui bahwa mereka
maniak misteri. Terutama perempuan ber-iris biru itu.
“Paman Adnan, maaf ya aku memanggilmu dengan sebutan
Pak Raden lagi” ucap seorang pemuda yang memakai sweater hijau dan sedang duduk
di kursi belakang mobil pribadi.
“Yah, tak apa, Den. aku selamanya tidak mengerti alasan
orang sampai tega membunuh!”
“Paman! Jangan diulang-ulang terus dong!”
“Yah, aku selamanya tidak mengerti alasan orang
sampai tega membunuh!” ledek paman adnan.
“Paman! Sudah dibilangin jangan di ulang-ulang lagi”
ucap aku cemberut.
“Den, ngomong-ngomong bukankah itu ungkapan favorit
dari Kogoro Mouri?”
“Yah, tentu saja. Sebenarnya Si Edogawa lah yang
berkata seperti itu melalui dasi perubah suara yang ditemukan Profesor Agasa.
Yah, walaupun mereka fiksi aku tetap menyukai komik karangan Aoyama Gosho ini”
“Den Rivan yang mengidolakan Aoyama Gosho, dan
Aoyama yang mengidolakan Arthur Conan Doyle. Bukanhkah hubungan berantai ini
saling terkait?”
“Seperti kata, Aristoteles’ perubahan
dalam segala hal adalah hal yang manis’.Jadi menurutku ide tak
akan pernah mati selama manusia mampu berfikir”
“Bagus, deh kalau begitu. Ngomong-ngomong mengenai
pemindahan sekolah Den Rivan, apakah Den Rivan sudah mengetahuinya?”
“Tentu saja dan sepertinya aku sudah menemukan teman
baru” aku tersenyum kecil.
***
Kandanghaur, 1 Agustus 2016.
Di sebuah sekolah negeri setempat.
“Selamat pagi, Lia. Selamat pagi, Callie” Sapa gadis
dengan rambut pendek sebahu dan senyum lebar di bibirnya.
“Selamat pagi, Rara. Hari ini sepertinya kau tidak
ribut seperti biasanya”
“Hehehe, tentu dong! Hari ini kan tidak ada PR, dan
tentu saja aku punya kabar lainnya yang bisa membuatmu terkejut”
“Oh, ya? Aku tidak sabar menantikannya” ucapku
dengan datar. Pikirku dia pasti melakukan hal bodoh lagi.
“Heh, kau tidak percaya? Apakah kau percaya padaku,
Callie”
“Ya, kemungkinan hari ini ada orang yang menyebalkan
datang” balas callie.
“Kenapa kau berkata begitu?” tanyaku.
“Kau akan mengerti jawabannya sebentar lagi”
***
Udara
pagi di wilayah Indramayu memang terbaik, hembusan angin segar dan sepoi-sepoi
yang terbawa oleh angin dari persawahan warga memberikan perasaan tentram di
hati. Sudah sekitar tujuh tahun aku meninggalkan tempat ini. Tempat yang penuh
dengan kenangan Ayah dan Ibuku, dan tentunya kenangan masa kecilku.
Tumpukan
kliping dari kasus-kasus dua belas tahun yang lalu sudah aku babat habis, kasus
kematian aktivis HAM asal indonesia di pesawat terbang yang sedang mengarungi
lautan langit biru. Kasus yang menarik, penggunaan arsenik dalam pembunuhannya
yang terlihat sangat terencana. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun tentang
itu, tapi kasus itu mirip dengan kepingan masa laluku. Aku coba mengingat kasus
itu kembali, maka dari itu semalaman suntuk aku coba kembali membuka kepingan
kasus itu. Alhasil, pagi ini aku bangun sedikit lebih siang. Ingat,
‘SE-DI-KIT’. Abah Wisnu sudah siap di depan untuk membawaku dengan mobilnya.
Dengan sedikit siraman di kepala, dan sikatan di gigi, aku sudah siap mengawali
pagi ini.
***
“Huh, lagi-lagi aku tidak mengerti itu hasilnya
darimana. Gi, kamu ngerti engga?”
“Ebiet, dengan rumus
segampang ini dan hasil reaksi eksoterm
dari CaO+H20
Ca(OH)2 akan menghasilkan reaksi
eksotermik yang mencapai suhu 300
“
terang egi.
“Dasar! Aku nanyain
Fisika, Woy! Fisika!” teriak ebiet marah.
“Oh, fisika toh. Hmmm ...
sepertinya, kita tanyakan pada orang yang lebih ahli saja. Bagaimana kalau kita
bertanya ke Cal—“
“Tidak” ucapan egi
dipotong oleh empunya suara, “Aku tidak mau menolong kalian”
“Callie, tolong ya!
Kali ini saja” ucap egi memelas.
“Rara, sepertinya kau
salah menerima info. Saat kau salah menerima info jadinya penalaranku juga
salah” terang callie.
“Aku juga tidak tau,
tadi pagi ibuku baru memberitahuku berita itu ”
“Oh, ya? Dasar anak
guru kesiswaan, masalah info di sekolah tau lebih awal”
“Hehehe, siapa dulu! Rara
Hardiyani Binti Surono!” ucap rara
bangga.
“Iya, deh” ucap callie tersenyum kecil.
“Oy, kalian nyuekin aku ya!!” hardik egi kesal.
“Rara, Callie, kalian ngomongin apa sih?” tanyaku heran.
“Nanti aja deh, Lia. Di sini ada Duo E yang mengganggu. Berhubung ini
sudah pukul 10.15 WIB. Kita membahasnya di kantin saja yah?” ucap rara.
“Yah, tapi—“ balasku tertahan setelah melihat ekspresi Callie yang
menyuruhku untuk tidak menyangkal perkataan rara.
“Oy!!! Kalian nyuekin aku ya!!” teriag egi.
Bel istirahat berbunyi, aku segera mendorong mundur kursiku dan
menteriakan rasa kejenuhan di otakku. Penerangan Ibu Siska memang tidak terlalu
sulit, mungkin karena minatku saja yang kurang atau loadingku yang lama. (Nb : Jangan Ditiru) Setelah sedetik Ibu Siska
melangkahkan diri, datanglah Pa Andi, wali kelas kami.
“Selamat pagi menjelang siang semuanya!” teriak pa andi, seperti
biasanya penuh semangat.
Orang itu yang memiliki tinggi 180 cm dan tubuh proposional, serta
otot-otot yang terlatih baik, berdiri di depan kelas kami.
“hohoho, ada apa ini? Kalian sepertinya tidak bersemangat”
lanjutnya,”Baiklah, Bapak akan memberikan kalian kuis! Siapa yang bisa
menebaknya dengan benar, akan Bapak persilahkan untuk istirahat. Bagaimana
penawaran Bapak? Menarik bukan?”
“Pak, tapi ini sudah waktunya istirahat. Ya, sudah sewajarnya kita
istirahat loh!” ucap egi yang disambut pembenaran oleh teman-temannya,”Benar,
Pak! Ini waktunya istirahat!”
“Hiks, hiks, kalian tidak memiliki selera humor sama sekali” isak pak
andi, sedih.”Baiklah, kalian pasti tidak akan menyesal berada di kelas ini,
tebak siapa yang Bapak bawa! Hei anak muda segera masuk ke dalam!” teriak pak andi.
Suara langkah kaki yang terdengar tegas, meyakinkan, memasuki kelas
kami. Wajah yang terlihat familiar berdiri di samping pa andi, dengan potongan
angular fringe yang urakan, kemeja putih yang di keluarkan dari sabuknya dan
rompi sekolah yang di sandarkan di pundaknya, dia menyapa kami.
“Yo, teman-teman namaku Rivan Alterio. Salam kenal ya!”
“Kyaaa!!!” teriakan para remaja wanita menggema ke seluruh isi kelas.
Kulihat rivan yang berdiri di sebelah sana melambaikan tangannya dan melempar
senyum penuh kemenangan.
“Mulai sekarang, dia akan menjadi teman kalian. Berhubung tadi pagi ada
sedikit insiden, jadi dia baru bisa masuk sekarang” ucap pa andi, setelah itu
pandangannya menatap tajam ke rivan dia memperhatikan pemuda itu dengan seksama
dari ujung rambut sampai ujung kakinya,”Hei anak muda, aku cuma mau memberikan
sedikit nasihat kepadamu, terserah kamu mau menerimanya atau tidak, tapi
kuharap kau mengingat ini dengan baik. Hahahahaha”
“Gawat, sebentar lagi Pa Andi akan memulainya” bisik egi kepada ebiet.
“Benar, Gi! Tamatlah dia. Sebentar lagi dia akan menunjukkan kekuatan yang bisa membuat murid-muridnya bertekuk
lutut di hadapannya.”
Hawa menakutkan memenuhi seluruh sudut-sudut kelas, seakan-akan
kegelapan terserap ke sana semua.
“Pertama, saat kau menjadi murid di sini jangan pernah melanggar tata
tertib sekolah, termasuk pakaianmu. Dan taatilah seluruh tata tertib di sekolah
ini”ucap pa andi semakin mendekat
“Kedua, jangan pernah membolos pelajaran dan berangkat siang, terutama
pelajaranku. Ingat ini baik-baik, pelajaranku adalah mata pelajaran kimia” kini
pa andi hanya berjarak dua langkah dari rivan.
“Terakhir, jangan pernah mengerjakan PR di sekolah, atau kau akan
melihat hal buruk akan terjadi” ucap pa andi sambil mencengkram pundak rivan.
“Argghhh! Lepaskan cengkeram anda pak!” ucap rivan dengan menipis tangan
pa andi dengan tangan kanannya, rivan melangkah mundur ke belakang.
“Fyuhh, kupikir tadi pundakku hampir copot”
“He~~, kau benar-benar membuatku tertarik anak muda. Baiklah akan
kubiarkan kau bebas sekarang, tapi besok kau harus memperhatikan baju dan
penampilanmu itu. Kau sebaiknya duduk bersama Egi, biar Ebiet yang duduk di
depannya. Bertemanlah yang akrab, ya! Dahh, Bapak tinggal dulu” ucap pa andi
sambil melempar senyum, sebelum akhirnya melangkah pergi.
***
“Oy, anak baru kulihat kau tadi kau tidak istirahat, kenapa? Apa kau
sakit perut, tidak punya uang, atau makanan di sini tidak cocok dengan
lidahmu?” ujar remaja dengan potongan caesar haircut itu.
“Aku tidak apa-apa, terimakasih telah memperhatikanku Egi” ucap rivan
sambil tersenyum tipis.
“Aku tidak memperhatikanmu, Dasar!” ucap egi jengkel,”Hey, Lia! Boleh
aku menghajarnya”
“Ja-ja-jangan” ucapku terbata-bata.
“Jangan, egi bodoh!!” ucap rara sambil menjitak egi.
“Arghh!! Sakittt!!” ucap egi sambil memegang kepalanya.
“Aku engga ikut-ikutan, loh” seru ebiet.
‘Pletakkk!!!’
Tiba-tiba jitakan keras ikut menyambar kepala ebiet.
“Jiah, aku kena lagi” ucap ebiet pasrah.
“Rivan~~ Kamu pulang ke mana? Rumah kamu di mana? Kenapa kamu pindah ke
sini, oh benar juga pasti mau ketemu denganku kan, iya kan, iya kan?” ucap rara
manja.
“Aku? Aku tinggal di sekolah ini, emmm... Mungkin mulai sekarang”
“Apa!!” ucap kami terkejut.
“Tidak, aku bercanda.”
‘Kringgg.... kringgg... kringgg.....’
“Sudah, bel pulang sekolah.Nanti saja kita lanjut pembicaraan kita” ucap
rivan.
***
Sepuluh tahun yang lalu, di dalam ingatanku yang samar-samar. Aku
teringat pernah berkunjung ke sebuah desa kecil di yogyakarta. Berhubung Ayah
dan Ibuku yang saat itu sedang mendapat tugas untuk mewawancarai kepala desa
setempat yang berhasil membuat desanya terkenal menjadi desa pariwisata, tentu
saja mereka mengajakku karena mereka pikir ini kesempatan untuk mengajakku
berlibur disela kesibukkan mereka. Aku ingat, sang kepala desa adalah orang
yang baik, rajin, dan ramah kepada penduduk serta pada kami. Saat ayah dan ibu
pergi bersama kepala desa, aku bermain di rumah kepala desa dengan seorang anak
perempuan yang seumuran denganku dan juga ibunya, yang kuketahui mereka
merupakan anak dan istri kepala desa. Aku selalu bermain dengan mereka, saat
itu bagiku yang tidak mengetahui betapa mengasyikkannya permainan-permainan
ini, membuatku betah berlama-lama berada di desa.
Tiga hari setelah itu, peristiwa mengerikan terjadi di rumah itu. Kepala
desa meninggal di ruang kerjanya. Seluruh penghuni rumah termasuk kami, datang
ke ruangan itu. Aku tidak ingat kasus itu lebih rinci, yang kuingat wajah
depresi dari sang ibu yang menangis sesenggukkan dan sang anak yang diam
terpatung di pelukan ibunya.
Kandanghaur, 31 Juli 2016.
Aku membuka kembali tumpukan kasus yang pernah diliput oleh ayahku,
kebetulan ayah dan ibuku merupakan reporter bebas, walaupun mereka tidak
terikat oleh sebuah perusahaan, tapi mereka merupakan reporter terkenal dan
banyak dinanti-nantikan beritanya.
Aku membaca dalam hati isi klipping kasus itu,” 27 Desember 2006,
terjadi pembunuhan di desa dengan korban kepala desa dan terbunuh oleh racun
arsenik. Korban meninggal di dalam ruangan kerjanya, setelah itu di temukan
bahwa korban saat itu sedang menyambut tamu dan keadaan AC saat itu sedang
menyala. Telah diperiksa tujuh saksi, dua pembantu korban, istrinya, seorang
reporter dan istrinya, dan dua saingan korban dalam pemilihan kuwu yang akan
dilaksanakan tahun 2007. Korban bernama Ridwan, dua orang pembantunya bernama
Tana dan Tini, istrinya bernama Balqis, reporter dan istrinya bernama Alvan dan
Aurel, sedangkan saingannya di pemilu adalah saudara Sigit dan Liman. Tersangka
dari kasus ini adalah saudara Sigit, dengan motif menghilangkan saingan untuk
pemilu, karena saudara Ridwan adalah favorit pemenang. Kasus ditutup dengan
hukuman 20 tahun penjara, Saudara Sigit terkena pasal pembunuhan berencana.”
“Hmmm ...Aku masih belum mengerti dengan kasus ini, di sisi lain aku
juga penasaran dengan anak itu” ucap rivan dalam hati.
“Rivan!! Kenapa kamu membuat ruang kerja ayahmu berantakkan seperti
ini!!” gelegar sebuah suara yang kukenal persis. Menakutkan.
“Eh, Ibu ... Engga kenapa-napa kok, hehehe”
“Kenapa cengengesan? Aduh
Rivan, ibu jadi capek kan membersihkannya” keluh ibu.
“Sini, Rivan bantu Bu” ibu tidak menjawab, dia hanya memberikan isyarat
mata bahwa aku boleh membantunya.
“Bu, apakah Ibu masih ingat kasus Pak Ridwan di jogja dulu?” tanyaku.
“Hmmm ... Pak Ridwan yang kepala desa itu?”
“Betul, Bu. Di catatan ayah tertulis jika korban dibunuh dengan racun
arsenik, di sini dituliskan kalimat ‘Keadaan AC saat itu sedang menyala’ secara
tidak langsung ayah mengatakan bahwa sumber dari racun arsenik adalah dari AC
ini”
“Hahaha, Ayah mu memang aneh, Rivan. Itulah alasan kenapa dia
menerbitkan ke koran catatan yang lainnya, catatan ini hanya sebagai pemuas
otaknya saja. Kau tahukan bahwa dia mengoleksi kasus-kasus yang pernah ia
tangani”
Saat ibu berkata seperti itu, aku teringat ekspresi marah ayah saat aku
bermain di ruang kerjanya dan menyobek klipingan kasus-kasus ini,” Oh ya, Bu.
Kenapa bisa tersangkanya sampai Pak Sigit, padahal Pa Liman dan yang lainnya
bisa jadi tersangka.” tanyaku heran.
“Itu hanya permainan lidah, Rivan. Diantara banyaknya saksi tersebut ada
yang berbohong, pertama Pak Liman dan Pak Sigit mengatakan untuk menghidupkan
AC padahal Korban tidak terlalu suka dengan AC dan memilih untuk membuka
jendela menggunakan AC alami. Tapi saat kejadian, pintu dan jendela semua
tertutup, dan AC dalam posisi menyala.”
“ Apakah saat itu Cuma Pa Sigit dan Pa Liman?” tanyaku heran.
“Benar, saat polisi datang mereka menemukan AC dalam keadaan menyala,
dan yang terakhir berkunjung adalah Pak Liman”
“Ha? Kalau yang terakhir berkunjung, Pak Liman kenapa Pak Sigit menjadi
tersangkanya?”
“Pak Sigit tau, kalau Pak Liman ini orangnya tidak suka ruangan yang
panas. Jadi saat dia berkunjung pertama kali untuk bertemu dengan Pak Ridwan
dia memastikan ruangan itu agar benar-benar tertutup. Lalu dia pamit keluar,
setelah selang beberapa detik Pak Liman datang. Dia mendapati ruangan itu
sangat gerah sekali, jadi Pak Ridwan juga menyetujui untuk menyalakan AC.
Ngomong-ngomong waktu kunjungan Pak Sigit Cuma lima menit dan Pak Liman hampir
30 menit.
Jadi wajar saja jika Pak Liman ikut keracunan juga”
“Jadi Pak Liman juga terkena racun arsenik itu?”
“Betul, saat Pak Liman baru saja keluar dari ruangan itu, Pak Ridwan
langsung kejang-kejang dan muntah hebat, saat dia ingin keluar dari ruangannya
nyawanya sudah tidak tertolong. Pak Liman yang baru beberapa langkah juga
mengalami gejala yang sama, tapi saat itu Aku dan Ayahmu yang baru kembali dari
desa melihatnya dan memberikan pertolongan yang pertama, tapi saat kami ingin
menolong Pak Ridwan nyawanya sudah tidak tertolong. Dengan sekali lihat Ayahmu
dapat menyimpulkan ini adalah gejala racun arsenik. Oh, saat itu Ayahmu
kelihatan sangat tampan” ucap ibu dengan rona merah dipipinya.
“Ayolah Ibu itu gampang, dengan melihat napas Pak Ridwan berbau bawang
putih, muntahan yang berwarna hijau, terdapat mees lines dikukunya itu
merupakan tanda-tanda keracunan arsenik kronik, bahkan saat kecil aku mengingat
gejala itu” ucapku sewot
“Rivan, kamu gampang sekali sensi sih.” ledek ibu sambil mencubitku, “Setelah
itu Pak Ridwan dan Pak Liman dilarikan ke rumah sakit dan hanya Pak Liman yang
selamat.
“Suntikan intramuskuler kronik secara bertahap, bukankah itu cara
pengobatan dari racun arsenik ini?”
“Betul, Nak. Tapi Pak Ridwan sudah terlalu banyak menghisap racun ini
dan nyawanya tidak terselamatkan. Lagian arsenik ini bukan arsenik murni,
melainkan sudah dalam beberapa penyaringan molar sebelumnya sehingga
menyebabkan efek racunnya lebih kuat. Biasanya manusia masih memiliki waktu
sekitar empat sampai sepuluh jam atau lebih jika arsenik itu arsenik murni
sampai arsenik dalam penyaringan molar tahapan ketiga”
“Wah, aku baru tahu itu, Bu. Terimakasih infonya”
“Ya, sama-sama. Jangan sungkan untuk bertanya kepadaku Anakku”
“Hehehe, tentu saja. Aku akan menguras semua kemampuan Ibu” ucapku
sambil melangkah pergi, setelah merapihkan ruangan itu,”Oh, ya Bu!” Langkahku
terhenti, aku menengok lagi kepada Ibu,”Apakah Ibu ingat nama anak Pak Ridwan
itu, terus bagaimana kondisi mereka sekarang?”
“Heh~~, kenapa kau menanyakan itu tiba-tiba?” tanya ibu heran, sedikit
menggoda juga.
“Ti-ti-tidak apa-apa kok, Bu!” balasku kelabakan.
“Setelah kejadian itu, yang ibu tau Balqis membawa anaknya ke luar kota
menuju kampung halaman dia ke rumah orangtuanya. Berhubung dia bukan asli orang
jogja, dan yang asli orang jogja itu hanyalah suaminnya. Tapi Ibu tidak tau nama
kota dan kampungnya itu.”
“Oh, begitu ya”
“Tidak usah memasang wajah sedih seperti itu” ledek ibu padaku.
“Siapa yang memasang wajah sedih!” ucapku sewot.
“Tapi Ibu ingat nama anaknya, karena warna rambut anehnya itu. Oh, ya
dia dulukan mengidap kelainan gen di rambutnya. Emmm, warnanya abu-abu, eh
bukan, putih ... Oh, bukan. Apa itu ya warnanya ...” ucap ibu kebingungan
“Perak”
“Iya, itu perak. Tuh, Kamu masih ingat’
“Siapa namanya, Bu!” ucapku tertunduk, sambil melangkah mendekat
kutegakkan pandanganku,
“Siapa namanya, BU!!!” aku berteriak. Entah kenapa aku
jadi tidak sabaran.
“Eh? Bentar dulu, kalau tidak salah namanya itu Tasya” jawab ibu.
“Tasya???”
Bersambung
...
“Tapi Ibu ingat nama anaknya, karena warna rambut anehnya itu. Oh, ya
dia dulukan mengidap kelainan gen di rambutnya. Emmm, warnanya abu-abu, eh
bukan, putih ... Oh, bukan. Apa itu ya warnanya ...” ucap ibu kebingungan
“Perak”
“Iya, itu perak. Tuh, Kamu masih ingat’
“Siapa namanya, Bu!” ucapku tertunduk, sambil melangkah mendekat
kutegakkan pandanganku,
“Siapa namanya, BU!!!” aku berteriak. Entah kenapa aku
jadi tidak sabaran.
“Jiah, Kamu jangan kepo sih!”
“Tapi, Bu—“
“Tapi, tapi. Dasar anak jaman sekarang bisanya
membangkang saja!!”
“Tapi, Bu.”
“Sudah, diam!!”
“Oke”
“Oke, Cuma oke? Dasar tidak sopan”
“................”
Yo, langsung saja! Petunjuk dalam kasus ini adalah ...
1. AC
Kenapa dibilang AC? Ya, Rivan sudah bilang tadi
bahwa adalah hal aneh jika kepala desa yang tidak suka AC menghidupkan AC di
ruangannya. Istilahnya mungkin bisa masuk angin, atau engga kuat dingin. Kalau
masalah pemasangan AC dirungan kepala desa yang tidak suka AC adalah hanya
untuk formalitas saja. Jadi racun arsenik itu dalam bentuk cairan dan
dimasukkan ke dalam AC, sehingga menyebabkan cairan arsenik itu tercampur
dengan udara dari AC.
2. Arsenik murni VS Arsenik saringan (kronik)
Seperti yang kita ketahui jika suatu zat kimia
contohnya jika HCl 1M di saring menjadi bentuk HCl 2M maka sifat perusaknya
akan semakin berkurang, tetapi jika Arsenik itu kebalikannya, jika As 1M
disaring menjadi As 2M maka sifat racunnya semakin kuat.
Emmm .... mungkin itu saja, karena sebenarnya ini
adalah kasus flashbacknya Rivan. Mungkin di kasus selanjutnya akan lebih
menarik, keep read this, OK!
AUTHOR : Diemas Ariyasena
catatan JURNALISTIK TIM : di tunggu komentarnya, dilarang kopas ya :)