Kasus
di gerbong kereta.
Jauh dari sebelumnya di
tahun 1994, di mana saat itu masa kejayaan kepolisian di negara kepulauan kecil
di timur asia, atau akhir abad 19 di mana masa kesuksesan detektif swasta
pertama di Inggris atau detektif yang ikut perang dunia pertama dari belgia
yang berkerja dengan ‘sel-sel kecil kelabunya’. Kita bukan sedang membahas
mereka, sekarang di Indonesia tepatnya negeri terluas ke empat di dunia atau
begitu sebutannya. Mungkin di sebuah negara berkembang ini potensi dari sebuah
pemikiran berada di atas negeri yang lainnya.
Kandanghaur, 30 juli 2016.
Di sebuah sekolah negeri setempat.
“Biet, pulang sekolah jadikan?” sapa seorang remaja
laki-laki berambut hitam dengan potongan caesar haircut.
“Jiah, jadilah! Inikan kesempatan besar,
jarang-jarang loh kita dapat naik kereta gratis!” jawab seorang remaja
laki-laki dengan gaya rambut classic undercut dengan pomade yang tebal di
rambutnya.
“Dasar muka gratisan!”
“He ... he... he... Salah sendiri ngajak aku”
Ebiet Pratista dan Egi Satrio, nama dari mereka berdua, mungkin itu merupakan
bagian dari percakapan harian mereka dan mungkin aku juga tidak terlalu
tertarik dengan percakapan mereka. Yah, tapi itu bukan berarti aku tidak peduli
dengan mereka, mereka juga temanku. Bagi orang yang kuper seperti diriku, punya teman yang peduli denganku merupakan
sebuah impian besar yang dapat aku syukuri. Perkenalkan namaku Natasya Emilia,
biasa dipanggil Lia. Aku dan kedua temanku, Rara Hardiyani, dan Agata Callie bisa mengenal mereka melalui ekstrakulikuler
misteri yang berada di Sekolahku. Mungkin terdengar aneh, yah, ini merupakan
eskul hobby dan mungkin lebih tepat hanya di sebut perkumpulan orang yang
memiliki hobby sama karena ini tidaklah resmi.
“Lia, kamu jadi ikut kan? Nanti kita ke sana naik
dengan mobil Ayahku, ya!” sapa gadis berrmata biru itu.
“Emmm, nanti dulu deh, aku belum izin sama ayah aku”
jawabku
“Ya, udah nanti pulang aku langsung mampir ke rumah
kamu, sekalian izin ya, yaa!” balas Callie sambil memaksa.
“Okelah, jika kamu memaksa, aku engga mau kena
omelanmu lagi”
“Hehehehe”
Tiba-tiba datang Rara dengan terengah-engah, “Teman-teman gawat!”
“Ada apa?” tanya Callie.
“Aku lupa ngerjain PR” ucap rara tak kenal dosa.
“Pletakk!”, sebuah jitakan mendarat tepat di
ubun-ubun Rara.
“Ahhh! Kenapa kau menjitak aku!” sungut Rara kesal.
“Sudah dibilangin, mengerjakan PR itu di rumah dan
jangan berteriak seperti orang gila jika tidak ada sesuatu yang penting!”
“Tapi ini penting!”, ucap Rara serius, “Benarkan Lia?”
“Iya” jawabku sambil tersenyum kecil.
Begitulah tingkah
mereka saat bertemu di kelas. Di kelas ini, kelas baruku di kelas XI, walaupun
saat kelas X kami tidak sekelas. Aku bersyukur kami dapat dipertemukan di kelas
yang sama begitu juga dengan teman eskul kami yang lainnya Ebiet dan Egi.
***
Tak terasa waktu pulang
pun tiba, setelah mendapat izin dari ayahku. Aku, Rara, Callie serta tidak lupa
Ebiet dan Egi pergi ke stasiun Haurgeulis, Indramayu. Kami rencananya akan
pergi ke cirebon untuk menghadiri seminar misteri di sana. Kami berangkat ke
stasiun menggunakan mobil pribadi milik Callie. Entah kenapa Callie sedang
ingin naik kereta padahal perjalanan ke Cirebon bisa ditempuh juga dengan
mobil.
Sesampainya di stasiun,
kami turun bersama, tidak lupa kami berterimakasih kepada Mang Ujang, supir
pribadi Callie tadi.
“Lia, ayo kita beli bakso dulu yuk!” ucap Callie
mengajakku. Callie kali ini terlihat sangat cantik matanya yang bewarna biru
langit menatapku teduh, rambutnya yang hitam panjang dibiarkan digerai dan
diponi di depannya, rambutnya yang dibando dengan bando yang berwarna biru
langit juga begitu selaras dengan penampilannya. Dia memakai kemeja biru muda
panjang dengan garis merah di pinggirnya, celana jeans biru tua menambah kesan
bahwa dia maniak warna biru.
“Tapi, bukankah keretanya sebentar lagi berangkat?”
tanyaku heran.
“Hmmm, tapi kali ini aku setuju dengan Callie kita
harus memakan bakso terlebih dahulu! Seorang Detektif tidak bisa berfikir jernih
bila sedang lapar!” sahut rara semangat.
“Dasar! Kalian hanya membaca setengah-setengah,
bahkan Holmes sendiri sulit untuk makan
saat belum bisa memecahkan sebuah kasus” sahut ebiet kesal.
“Betul sekali tuh, kalian seharusnya membacanya yang
rajin!” sahut egi.
“Udah-udah jangan bertengkar ayo makan dulu” ucapku
mencairkan suasana.
****
Di kereta kami duduk dalam satu gerbong, gerbong
yang saat kami masuk hanya terlihat sembilan penumpang termasuk kami. Kami
berlima duduk di bangku terdepan, sedangkan empat orang lainnya dibelakang.
Tiga baris dari belakang dibangku sebelah kanan terdapat kakek tua yang sedang
tertidur pulas, di baris kedua dari belakang bangku sebelah kiri terdapat
mahasiswa yang sedang mengotak-ngatik laptopnya, dan di baris terakhir terdapat
ibu-ibu yang fokus dengan HP-nya dan seorang yang memakai jaket hijau yang
menutupi kepalanya.
Tiga puluh menit telah berlalu, dari perjalanan itu
Egi dan Ebiet saling tidur tumpang tindih di kursi mereka di sebelah kanan, dan
kami duduk disebelah kiri. Suasana tenang sampai seorang karyawati masuk ke
gerbong kami dan menjerit dengan kerasnya.
“Kyaaa!!!”
Mendengar suara jeritan itu kami segera bergegas ke
gerbong bagian belakang dan menemukan kasus pertama kami.
***
Sirene polisi menggema dalam kereta yang di hentikan
paksa, seluruh penumpang tidak boleh turun terlebih dahulu sebelum ada
keterangan dari polisi. Kami bersembilan termasuk karyawati yang baru masuk
tadi di interogasi terlebih dahulu.
“Maaf, kalian berlima sepertinya masih siswa SMA.
Tapi, status kalian juga bisa berubah dari saksi menjadi tersangka karena
berada di gerbong yang sama dengan mahasiswa yang membawa laptop ini” ucap
seorang polisi dengan kumis yang tebal ke sana ke mari.
“Loh, Pak tidak bisa begitu! Bahkan kami tidak kenal
dengan korban!” sanggah egi.
“Kami bahkan tidak mendekati mayat korban,
bersentuhan dengan korban, berkontak mata dengan korban. Bagian mana yang
membuat kami bisa jadi tersangka! Di sini ada empat orang lain lagi yang
tempatnya lebih dekat dengan korban” tegas ebiet dengan marah-marah, hampir
saja syaraf hijaunya keluar. Aku baru pertama kali melihat ebiet semarah ini.
“Betul, Pak. Ini belum ada bukti sama sekali! DASAR
PAK RADEN!!” tukas rara sangar.
Kami berempat yang mendengar omongan rara tadi
saling memandang satu sama lain, tawa kami yang hampir saja pecah, kami tahan.
Memang benar polisi tersebut mirip, malahan banget. Mirip banget dengan tokoh
pak raden di cerita Si Unyil.
“Benar, tapi kalian juga jangan nyolot begitu.
Bagaimanapun saya lebih tua dari kalian, mengenai status kalian saya masih
bilang itu kemungkinan, Mengerti?”
“Sebaiknya kalian tahan emosi kalian, mari kita
tenangkan otak dan berfikir jernih” balas Callie.
“Betul, teman-teman” tukasku.
“Ehm, maaf Pak. Sepertinya aku sedikit batuk”
seseorang datang kepada kami sambil berdehem.
“Nga? Siapa anda, coba buka tudung jaketmu!” ucap
polisi tersebut.
“Sepertinya anda lupa saya, Pak Raden.” ucap pemuda
itu yang ternyata seorang yang memakai jaket hijau tadi.
“Den Rivan!” ucap polisi tadi sambil tersentak
kaget.
“Yo, Pa Raden. Apa kabar?” sapa pemuda tadi.
“Baik, Den. Aden sedang apa disi—bentar-bentar. Maaf
sebelumnya, Aden jangan ikut campur dalam kasus ini. Ini sudah tugas Polisi
mengurus kasus seperti ini. Sebaiknya Aden jangan ikut campur lagi, nanti
pimpinan bisa marah!” ucap polisi tadi serius.
Ebiet dan Egi yang tadi sedang menahan tawa sekarang
saling memandangkan mata satu sama lain, sedetik kemudian tawa mereka pecah.
“HAHAHAHHAHHAHA” tawa mereka bersama.
“Biet, ternyata bener namanya Pak Raden”
“Ini nih yang namanya cocok tingkat dewa,”
Tiba-tiba hawa menyeramkan mengitari bulu kuduk
mereka, sosok menyeramkan yang memiliki kumis tersebut berdiri di belakang
mereka. Sedetik kemudian kepala mereka berdua telah dipenuhi benjolan seukuran
buah mangga.
“Ehm, maaf sebelumnya tapi kalian bisa pergi menuju
gerbong berikutnya untuk di interogasi, karena sekarang giliran kalian” ucap
pak raden tersebut.
“Ehh ...! tapi Pak—“ ucapku tertahan karena pemuda
tadi memotong ucapanku, “Tidak perlu menginterogasi mereka karena pelakunya
bukanlah orang yang berada di gerbong ini.”
“Den, tapi kenapa bisa begitu? Bisa saja kan pelakunya
berada di gerbong ini, gerbong di mana korban meregang nyawa”
“Itu jawabannya gampang, tadi saat kereta baru
berangkat kebetulan aku duduk di belakang korban dan kulihat tadi seorang yang
memakai pakaian, celana, dan topi serba hitam datang menghampirinya. Itu
sekitar 15 menit waktunya saat kereta baru berangkat. Dan coba lihat di lantai
tempat mayat tadi ditemukan terdapat bekas es teh dalam kemasan yang tumpah kan
itu merupakan bukti yang sangat kuat yang dibutuhkan di sini.”
“Oh ... aku mengerti, tolong dilanjutkan
penjelasannya” ucap polisi tersebut.
“Oyyy!!! Bentar dulu aku belum mengerti!” tukas
rara.
“Ya ampun Rara, masa begitu tidak mengerti!” balas
Ebiet.
“Benar itu, Ra. Masa begitu engga ngerti juga”
sambung Egi.
“Emang kamu ngerti?” tanya rara.
“Ngertilah, coba Callie jelasin.”
“Dasar,” ucap callie sambil menggelengkan kepala, “
Jadi, begini. Kalian bisa lihat kan ada bekas tumpahan teh di situ?”
“Iya” Jawabku.
“Coba perhatikan lebih baik, kenapa tumpahan teh
tersebut alirannya tidak wajar, seperti ada benda yang di taruh di situ”
“Ohh, aku mengerti” jawabku, “ Benda tersebut
mungkin saja kaki pelaku saat kejadiaan itu kan.”
“Betul sekali,” rivan mengikuti percakapan kami,
“Cukup satu kunci lagi dan aku akan menemukan jawabannya, sudah jelas dia
pelakunya hanya saja buktiku kurang kuat. Pak Raden apa yang dikatakan tim
forensik terhadap mayat korban”
“Menurut laporan tim forensik, di dalam darah korban
di temukan amatoxin dalam jumlah yang besar, tidak ditemukan reaksi apa-apa di
mulutnya” ucap polisi lain yang mendampingi pak raden.
“Hmmm, aku mengerti, lalu di sana di dalam toilet
apakah di temukan sesuatu? Berhubung sekarang kita berada di gerbong tiga dan
kereta ini memiliki 5 gerbong, sedangkan tiap gerbongnya di pisahkan oleh
toilet umum dan tiap gerbong memiliki 7 baris kursi kebelakang dan 3 kursi di
kanan serta dikiri tiap-tiap baris, dan di antara kursi paling kanan dan paling
kiri ada lorong untuk jalan kaki. Dan dengan kesaksian aku dan ibu itu, kami melihat
orang yang berpakaian serba hitam datang menemui korban. Jadi, kusimpulkan
pelakunya berada di gerbong ke empat dan gerbong ke lima, jadi orang yang
menempati gerbong 1,2,3 tidaklah bermasalah. Apa itu salah, Pak Raden?”
“Seperti biasanya, itu benar, Den.”
“Baiklah, silahkan pak raden dengan para petugas
lainnya menanyakan siapa saja orang yang lalu lalang menuju gerbong ke toilet
di dekat gerbong ke tiga ini”
***
Pemeriksaan terus berlanjut, sepertinya peran kami
berlima hanyalah sebagai pelengkap walaupun kulihat teman-temanku ingin ikut
ambil tindakan dalam kasus ini. Yah, sekarang aku menyadari menghadapi kasus di
dunia nyata tidak seindah angan-angan kami. Kulihat Callie yang biasanya sangat
antusias kali ini hanya bisa menatap tajam ke arah Rivan yang bolak-balik ke
area TKP dengan seenak jidatnya. Aku akui, aku juga ingin ikut membantu, tapi
apa daya polisi disekitar kami tidak membolehkan kami mendekati TKP.
“Dengan begitu, ada sekitar tiga orang yang pergi ke
arah toilet dalam jangka waktu 15 menit setelah keberangkatan, Den. Orang yang
pertama bernama Wahyu pemilik kedai kopi di daerah Anjatan. Dia pergi ke toilet
untuk membasuh wajahnya, tapi sekitar 10 menit kemudian dia baru keluar, dia
orang terakhir yang memasuki toilet. Lalu, yang kedua Jaka seorang karyawan
swasta yang sedang pulang kerja dia menggunakan toilet untuk buang air kecil
dan setelah 3 menit kemudian dia keluar dari toilet tersebut.Lalu orang yang
terakhir, tetapi pertama memasuki toilet tersebut adalah Nona Lusi, dia adalah
seorang ahli jamur lulusan Institut di Bogor dan tinggal sendiri di
kontrakkannya di haurgeulis dan Saudara Wahyu mendengarkan dia sedang menelepon
saat itu. Dia berada di toilet sekitar 12 menit” Terang Pak Raden jelas.
“Lapor pak, di laptop korban di temukan banyak
sekali foto-foto wanita dan saat korban tewas dia sedang ber-chatting dengan
akun bernama Dewi Ayu dan di toilet di temukan pakain serba hitam di tong
sampahnya dan di sekitar itu, maaf kalau tidak penting ada sebuah potongan
selotip di lantai toilet.. Apakah akun ini perlu ditindak lanjuti?” ucap
seorang polisi muda yang datang dengan tergesa-gesa.
“Hmmm, baik mungkin kita dapat menemukan jawabannya”
“Siap, Pak!”
“Berhenti, Pak Raden dan anda yang tadi melapor.
Maaf kalau tidak sopan, menurut saya tidak usah. Karena dengan pernyataan anda
barusan saya sudah mendapatkan trik dan motif dibalik semua ini” tukas Rivan
dengan senyum kecil di bibirnya.
***
“Dasar! Dia sok banget” ucap Ebiet dengki,”Aku juga
bisa seperti itu dengan petunjuk sebanyak itu”
“Betul, Biet. Malahan aku bisa menyelesaikan ini dua
kali lebih cepat” sambung Egi.
“Sssttttt! Lihat dan perhatikan cara dia berkerja,
dia adalah seorang mahir yang sudah ratusan berada di situasi kali seperti ini.” ucap Callie.
Aku tak menyangka Callie yang biasanya tidak
tertarik dengan orang di sekitarnya bisa berkata seperti itu.
“Aku akan melampauinya, aku berjanji!” sambung
Callie
“Lia, ngomong-ngomong si Rivan, Rivan itu keren ya!
Kalau dia bisa menyelesaikan kasus ini bisa-bisa aku kesemsem nih” ucap rara antusias.
Yah, aku tidak bisa mengelak itu. Dia pemuda yang
tampan, tapi dengan potongannya yang urakan membuatku tidak merasa bahwa dia
anak yang baik-baik. Intinya aku tidak suka.
***
“Yang pertama, biar kujelaskan. Saudara Wahyu hari ini
anda memakai baju kemeja putih dengan setelan jas hitam dan dasi hitam, serta
celana yang serba hitam termasuk sepatunya juga. Boleh kubertanya, anda akan
pergi ke sebuah acara kan, itu acara penting?”
“Iya betul. Emmm, sebenarnya aku mau menghadiri
pernikahan mantan pacarku.” ucap wahyu malu-malu.
“Baik Yang kedua saudara Jaka pernyataan anda
kemungkinan yang paling kuat di sini, karena anda hanya menggunakan toilet
selama 3 menit.Dari yang saya lihat si pelaku mendekati korban lalu
menyuntikkan racun amotoxin yang sudah diekstrak sebelumnya dan si pelaku
menunggu sampai korban benar-benar tewas, itu memakan waktu sekitar 7 menit.
Buktinya pelaku tidak menghindar setelah es teh korban jatuh dan mengenai
kakinya, dia tidak ingin orang-orang di sekitar korban merasa curiga padanya
dan dia ingin memastikan kematian korban secara langsung” setelah berdiam diri
sejenak Rivan melanjutkan penalarannya ,“Dan yang terakhir, Nona Lusi. Apakah
anda saat itu benar-benar sedang menelepon?”
“Tentu saja, bukankah Saudara Wahyu sudah
memastikannya, benarkan?”
“Iya, aku mendengarnya dengan sangat jelas” balas
Wahyu.
“Hahaha, itu dia! Coba bayangkan, seorang wanita
yang susah payah mencari tempat untuk menelepon dapat berkata dengan keras dan
jelas sampai kedengaran oleh Wahyu, bukankah ini aneh?”
“Hmmm, itu masuk akal Den, tapi apa hubungannya Den
Rivan menanyakan tentang berkunjung kesebuah acara pada Saudara Wahyu?”
“Tadi, Saudara Wahyu bilang bahwa dia pergi ke
toilet untuk mencuci muka kan? Pernyataan dia benar dan dia sedang tidak
berbohong. Jadi kusimpulkan dia bukan pelakunya?”
“Oy, kamu tau darimana coba jelaskan!” teriak ebiet
dan tidak lupa egi menimpalinya,”Betul, kamu tau tau darimana!”
“Itu perkara mudah, kalian melihat lekukan bekas air
di siku kemejanya Wahyu?”
“Iya” jawab egi, “memang kenapa?”
“Itu membuktikan bahwa saat dia mencuci mukanya dia
melipat Lengan kemejanya sampai siku, itu menyebabkan air mengalir dan bermuara
ke ujung sikunya, sehingga meninggalkan bekas air. Bukankah begitu Rivan?”
jawab Callie.
“Betul sekali” jawab Rivan,”Dan yang dapat
kusimpulkan dalam kasus ini adalah pelaku masuk ke toilet pertama kali untuk
mencari tempat yang sepi, setelah itu pelaku menempatkan sebuah rekaman
pembicaraannya di bilik toilet tersebut dan menguncinya dari luar dengan
selotip tidak lupa dia berganti pakaian dengan pakaian serba hitam dan langsung
menuju gerbong yang berada di depannya, yaitu gerbong korban dan menyuntikkan racun Amotoxin kepada
korban. Dan tentu saja korban tidak curiga karena dia mengenal pelakunya
sendiri. Setelah itu dia kembali ke toilet dan mengambil rekamanmu berhubung
Saudara Wahyu posisinya saat itu sedang membelakangimu jadi dia tidak tau
kedatanganmu”
“Jangan-jangan pelakunya Nona—“ ucapku pelan.
“Yap, benar sekali. Pelakunya Nona Lusi!”
“Apa!!”
“Benarkan, anda yang melakukannya Nona Lusi?
Berhubung anda hanya membawa ganti baju tidak beserta sepatu dan kaus kaki,
anda pasti adalah pelakunya. Bekas teh yang berada di kaus kakimu bisa menjadi
bukti yang kuat.”
“Jangan Bodoh, walaupun di kakiku memang benar ada
tumpahan teh itu karena teh yang kuminumlah yang jatuh ke kakiku bukan tehnya
korban! Terus kenapa Si Wahyu tidak melihatku, walaupun posisinya dibelakangku,
kan dia sedang bercermin pasti dia melihat bayanganku kan?”
“Terus apa yang kau pikirkan jika saat itu Saudara
Wahyu sedang memakai produk pencuci muka dan tidak bisa melihat karena itu?”
“Eh? Kok anda tau aku memakai pencuci muka?” tanya
wahyu heran.
“Ckckckck, itu mudah. Anda ingin menghadiri acara
penting mantan anda kan, berhubung anda masih mencintai mantan anda, anda ingin
tampil beda. Dari sikap anda menggulung kemeja anda dan waktu yang cukup lama,
yaitu 10 menit di toilet, akhirnya aku sampai pada kesimpulan ini.” ucap rivan
mantap,” Dan bukti yang anda tanyakan, bukankah berada dalam kantong anda?
Jarum suntik tadi, buktinya saat anda membuang baju itu tidak ditemukan senjata
pembunuhan itu. Dan bukti yang selanjutnya adalah sidik jari anda yang berada
dalam selotip, bukankah dengan bukti sebanyak ini tidak membuatmu menyerah
juga?”
“Baiklah, coba periksa!” suruh pak raden terhadap
anak buahnya.
“Siap, Pak!”
Kulihat
sosok perempuan muda yang tegar itu duduk tersimpuh tidak berdaya sambil
meneteskan air mata penyesalan.
“Kau tidak mengetahui yang sebenarnya! Kau hanyalah
anak muda yang hidup dalam limpahan orang tuamu, tau apa kau tentang sialan
yang memerasku ini!”
“Aku tau motifmu membunuhnya. Dia sebenarnya adalah
orang yang anda cintai kan? Tapi sayangnya dia adalah orang yang tidak setia
dan menganggap wanita sebagai sumber uangnya”
“Diam Kau! Kau tidak akan pernah mengerti
perasaanku!”
“Yah, aku selamanya tidak mengerti alasan orang
sampai tega membunuh!”
Dengan ucapan terakhir
dari Rivan itu, diantarkannya Nona Lusi menuju panggung kehidupan yang
sebenarnya. Para polisi mengawalnya, dan membiarkan kita melanjutkan perjalanan
lagi. Tapi, melihat waktu yang sudah sore kami memutuskan untuk kembali ke
Indramayu.
“Oy, kalian semua!” teriak pemuda tadi yang baru
saja jadi pemeran utama hari ini,” Tunggu dulu aku ingin bicara”
“Ini tidak baik bagi jantungku, Lia! Dia datang”
ucap Rara malu-malu.
“Iya, aku taku kok, Ra.”
“Nga, kamu mau apa tuan sok detektif?” ucap ebiet
sangar.
“Jangan-jangan, kamu mau mengganggu cewek-cewek
cantik kami ya!” balas ebiet.
“Tidak, tapi setelah kumelihat gantungan yang ada di
tas cewek berambut perak ini sepertinya aku merasa kita akan bertemu lagi,
benarkan Lia?”
“Eh!? Kau tau namaku?”
“Ya, itu tidak penting. Sampai jumpa dikemudian
hari, Lia dan, anu—eh—emmm ... Lia dan teman-teman. Dahhh!” ucap pria itu
sambil berlari menjauh.
“Asem pria itu! Dia hanya tau namanya Lia saja!,
betulkan Gi” ucap Ebiet geram,”tentu saja Biet!” balas egi.
“Apakah kau pernah bertemu dengannya, Lia?” tanya
Calie serius.
“Engga kok, Cal. Beneran deh, sumpah!”
“Jangan sampai,
kau menikungku ya, Lia!”
“Itu tidak akan pernah terjadi, Ra! Beneran dah!”
ucapku malu.
“Oke,” jawab rara, “ aku cuma mau menggoda kamu
saja, kok. Pipimu engga usah sampai semerah itu, hehehe”
“Dasar, R-A-R-A!”
Bersambung
...
Pojok Pembaca
Kulihat sosok perempuan muda yang tegar itu duduk
tersimpuh tidak berdaya sambil meneteskan air mata penyesalan.
“Kau tidak mengetahui yang sebenarnya! Kau hanyalah
anak muda yang hidup dalam limpahan orang tuamu, tau apa kau tentang sialan
yang memerasku ini!”
“Aku tau motifmu membunuhnya. Dia sebenarnya adalah
orang yang anda cintai kan? Tapi sayangnya dia adalah orang yang tidak setia
dan menganggap wanita sebagai sumber uangnya”
“Diam Kau! Kau tidak akan pernah mengerti
perasaanku!”
“Selamanya
aku tidak akan mengerti perasaan wanita, yang menganggap dirinya selalu
benar!!”
Catatan Author
Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
Puji syukur kehadirat
Allah SWT karena telah memberikan nikmat iman, islam, dan sehat sehingga author
bisa menyelesaikan seri Paradox Case bagian pertama ini, sholawat serta salam
tidak lupa kita panjatkan kepada junjungan Nabi kita, Nabi Muhammad SAW, karena
dengan adanya beliau yang telah menuntun kita dari zaman kegelapan menuju taman
terang benderang seperti saat ini.
Sebelumnya atas nama
saya (author) ingin meminta maaf jika ada kesalahan kata-kata dan bahasa, dan
jika ada pihak yang merasa dirugikan. Jika ada yang nanya maksud dari cerita
ini itu apa, sebenarnya saya membuat cerita ini hanya untuk hobi semata dan
membagi pengetahuan tentang kasus-kasus yang pernah saya baca. Saya membuat ini
sebagian besar terinspirasi dari kasus yang pernah saya lihat sebelumnya dan
tentunya kebanyakan fiktif, tapi apa salahnya kan berbagi pengetahuan? Jadi
sebelum lebih jauh saya mengatakan, bahwa cerita ini hanyalah fiktif dan kasus
di dalamnya ataupun trik dari pelaku jangan digunakan dalam kehidupan
sehari-hari ya!
***
Jika
ada yang belum mengerti dalam kasus ini, saya akan memberikan beberapa petunjuk
yaitu:
-
Teh yang ditumpahkan oleh korban dan
mengenai sepatu pelaku.
-
Mengenai racun amotoxin itu ditemukan di
salah satu jenis jamur di dunia, jadi jelas si Lusi yang mengerti tentang jamur
sudah bisa dicurigai sejak awal, seperti kata Rivan,” Betul sekali,” rivan
mengikuti percakapan kami, “Cukup satu kunci lagi dan aku akan menemukan
jawabannya. Aku belum memiliki bukti yang kuat”
-
Selotip aneh di toilet
-
Suara Lusi yang menelepon dan terdengar
jelas oleh Wahyu.
-
Korban yang banyak menchatting wanita di
laptopnya, merupakan salah satu motif pelaku. 62 813-1296-2079
AUTHOR : DIEMAS ARYA SENA
Catatan blogger jurnalistik : Di tunggu komentarnya :)
ayo semangat untuk tetap berkarya
BalasHapusditunggu kelanjutan ceritanya :D
BalasHapus