Kamis, 24 November 2016

paradox case eps.02



Paradox Case

epidose 02

Ingatan masa lalu
            Mobil berbadan putih dan di lengkapi corak biru dan merah di pinggirnya, serta dilengkapi dengan sirene yang berteriak kencang menghantarkan Nona Lusi menuju kantor polisi. Orang yang menghilangkan nyawa orang lain hanya untuk cinta buta. Aku memang bukan kali pertama menangani kasus seperti ini, tapi dalam kasus ini ada yang beda. Aku bertemu dengan sekumpulan remaja yang memiliki minat yang sama denganku, dari mata mereka aku sudah mengetahui bahwa mereka maniak misteri. Terutama perempuan ber-iris biru itu.

“Paman Adnan, maaf ya aku memanggilmu dengan sebutan Pak Raden lagi” ucap seorang pemuda yang memakai sweater hijau dan sedang duduk di kursi belakang mobil pribadi.

“Yah, tak apa, Den. aku selamanya tidak mengerti alasan orang sampai tega membunuh!”

“Paman! Jangan diulang-ulang terus dong!”

 “Yah, aku selamanya tidak mengerti alasan orang sampai tega membunuh!” ledek paman adnan.

“Paman! Sudah dibilangin jangan di ulang-ulang lagi” ucap aku cemberut.

“Den, ngomong-ngomong bukankah itu ungkapan favorit dari Kogoro Mouri?”

“Yah, tentu saja. Sebenarnya Si Edogawa lah yang berkata seperti itu melalui dasi perubah suara yang ditemukan Profesor Agasa. Yah, walaupun mereka fiksi aku tetap menyukai komik karangan Aoyama Gosho ini”

“Den Rivan yang mengidolakan Aoyama Gosho, dan Aoyama yang mengidolakan Arthur Conan Doyle. Bukanhkah hubungan berantai ini saling terkait?”

“Seperti kata, Aristoteles’ perubahan dalam segala hal adalah hal yang manis’.Jadi menurutku ide tak akan pernah mati selama manusia mampu berfikir”

“Bagus, deh kalau begitu. Ngomong-ngomong mengenai pemindahan sekolah Den Rivan, apakah Den Rivan sudah mengetahuinya?”

“Tentu saja dan sepertinya aku sudah menemukan teman baru” aku tersenyum kecil.

***

Kandanghaur, 1 Agustus 2016.

Di sebuah sekolah negeri setempat.

“Selamat pagi, Lia. Selamat pagi, Callie” Sapa gadis dengan rambut pendek sebahu dan senyum lebar di bibirnya.

“Selamat pagi, Rara. Hari ini sepertinya kau tidak ribut seperti biasanya”

“Hehehe, tentu dong! Hari ini kan tidak ada PR, dan tentu saja aku punya kabar lainnya yang bisa membuatmu terkejut”

“Oh, ya? Aku tidak sabar menantikannya” ucapku dengan datar. Pikirku dia pasti melakukan hal bodoh lagi.

“Heh, kau tidak percaya? Apakah kau percaya padaku, Callie”

“Ya, kemungkinan hari ini ada orang yang menyebalkan datang” balas callie.

“Kenapa kau berkata begitu?” tanyaku.

“Kau akan mengerti jawabannya sebentar lagi”

***

            Udara pagi di wilayah Indramayu memang terbaik, hembusan angin segar dan sepoi-sepoi yang terbawa oleh angin dari persawahan warga memberikan perasaan tentram di hati. Sudah sekitar tujuh tahun aku meninggalkan tempat ini. Tempat yang penuh dengan kenangan Ayah dan Ibuku, dan tentunya kenangan masa kecilku.
            Tumpukan kliping dari kasus-kasus dua belas tahun yang lalu sudah aku babat habis, kasus kematian aktivis HAM asal indonesia di pesawat terbang yang sedang mengarungi lautan langit biru. Kasus yang menarik, penggunaan arsenik dalam pembunuhannya yang terlihat sangat terencana. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun tentang itu, tapi kasus itu mirip dengan kepingan masa laluku. Aku coba mengingat kasus itu kembali, maka dari itu semalaman suntuk aku coba kembali membuka kepingan kasus itu. Alhasil, pagi ini aku bangun sedikit lebih siang. Ingat, ‘SE-DI-KIT’. Abah Wisnu sudah siap di depan untuk membawaku dengan mobilnya. Dengan sedikit siraman di kepala, dan sikatan di gigi, aku sudah siap mengawali pagi ini.

***

“Huh, lagi-lagi aku tidak mengerti itu hasilnya darimana. Gi, kamu ngerti engga?”

“Ebiet, dengan rumus segampang ini dan hasil  reaksi eksoterm dari CaO+H20 Ca(OH)2 akan menghasilkan reaksi eksotermik yang mencapai suhu 300  “ terang egi.

“Dasar! Aku nanyain Fisika, Woy! Fisika!” teriak ebiet marah.

“Oh, fisika toh. Hmmm ... sepertinya, kita tanyakan pada orang yang lebih ahli saja. Bagaimana kalau kita bertanya ke Cal—“

“Tidak” ucapan egi dipotong oleh empunya suara, “Aku tidak mau menolong kalian”

“Callie, tolong ya! Kali ini saja” ucap egi memelas.

“Rara, sepertinya kau salah menerima info. Saat kau salah menerima info jadinya penalaranku juga salah” terang callie.

“Aku juga tidak tau, tadi pagi ibuku baru memberitahuku berita itu ”

“Oh, ya? Dasar anak guru kesiswaan, masalah info di sekolah tau lebih awal”

“Hehehe, siapa dulu! Rara Hardiyani Binti Surono!” ucap rara bangga.

“Iya, deh” ucap callie tersenyum kecil.

“Oy, kalian nyuekin aku ya!!” hardik egi kesal.

“Rara, Callie, kalian ngomongin apa sih?” tanyaku heran.

“Nanti aja deh, Lia. Di sini ada Duo E yang mengganggu. Berhubung ini sudah pukul 10.15 WIB. Kita membahasnya di kantin saja yah?” ucap rara.

“Yah, tapi—“ balasku tertahan setelah melihat ekspresi Callie yang menyuruhku untuk tidak menyangkal perkataan rara.

“Oy!!! Kalian nyuekin aku ya!!” teriag egi.

Bel istirahat berbunyi, aku segera mendorong mundur kursiku dan menteriakan rasa kejenuhan di otakku. Penerangan Ibu Siska memang tidak terlalu sulit, mungkin karena minatku saja yang kurang atau loadingku yang lama. (Nb : Jangan Ditiru) Setelah sedetik Ibu Siska melangkahkan diri, datanglah Pa Andi, wali kelas kami.

“Selamat pagi menjelang siang semuanya!” teriak pa andi, seperti biasanya penuh semangat.
Orang itu yang memiliki tinggi 180 cm dan tubuh proposional, serta otot-otot yang terlatih baik, berdiri di depan kelas kami.

“hohoho, ada apa ini? Kalian sepertinya tidak bersemangat” lanjutnya,”Baiklah, Bapak akan memberikan kalian kuis! Siapa yang bisa menebaknya dengan benar, akan Bapak persilahkan untuk istirahat. Bagaimana penawaran Bapak? Menarik bukan?”

“Pak, tapi ini sudah waktunya istirahat. Ya, sudah sewajarnya kita istirahat loh!” ucap egi yang disambut pembenaran oleh teman-temannya,”Benar, Pak! Ini waktunya istirahat!”

“Hiks, hiks, kalian tidak memiliki selera humor sama sekali” isak pak andi, sedih.”Baiklah, kalian pasti tidak akan menyesal berada di kelas ini, tebak siapa yang Bapak bawa! Hei anak muda segera masuk ke dalam!”  teriak pak andi.
Suara langkah kaki yang terdengar tegas, meyakinkan, memasuki kelas kami. Wajah yang terlihat familiar berdiri di samping pa andi, dengan potongan angular fringe yang urakan, kemeja putih yang di keluarkan dari sabuknya dan rompi sekolah yang di sandarkan di pundaknya, dia menyapa kami.

“Yo, teman-teman namaku Rivan Alterio. Salam kenal ya!”

“Kyaaa!!!” teriakan para remaja wanita menggema ke seluruh isi kelas. Kulihat rivan yang berdiri di sebelah sana melambaikan tangannya dan melempar senyum penuh kemenangan.

“Mulai sekarang, dia akan menjadi teman kalian. Berhubung tadi pagi ada sedikit insiden, jadi dia baru bisa masuk sekarang” ucap pa andi, setelah itu pandangannya menatap tajam ke rivan dia memperhatikan pemuda itu dengan seksama dari ujung rambut sampai ujung kakinya,”Hei anak muda, aku cuma mau memberikan sedikit nasihat kepadamu, terserah kamu mau menerimanya atau tidak, tapi kuharap kau mengingat ini dengan baik. Hahahahaha”

“Gawat, sebentar lagi Pa Andi akan memulainya” bisik egi kepada ebiet.

“Benar, Gi! Tamatlah dia. Sebentar lagi dia akan menunjukkan kekuatan  yang bisa membuat murid-muridnya bertekuk lutut di hadapannya.”
Hawa menakutkan memenuhi seluruh sudut-sudut kelas, seakan-akan kegelapan terserap ke sana semua.

“Pertama, saat kau menjadi murid di sini jangan pernah melanggar tata tertib sekolah, termasuk pakaianmu. Dan taatilah seluruh tata tertib di sekolah ini”ucap pa andi semakin mendekat

“Kedua, jangan pernah membolos pelajaran dan berangkat siang, terutama pelajaranku. Ingat ini baik-baik, pelajaranku adalah mata pelajaran kimia” kini pa andi hanya berjarak dua langkah dari rivan.

“Terakhir, jangan pernah mengerjakan PR di sekolah, atau kau akan melihat hal buruk akan terjadi” ucap pa andi sambil mencengkram pundak rivan.

“Argghhh! Lepaskan cengkeram anda pak!” ucap rivan dengan menipis tangan pa andi dengan tangan kanannya, rivan melangkah mundur ke belakang.

“Fyuhh, kupikir tadi pundakku hampir copot”

“He~~, kau benar-benar membuatku tertarik anak muda. Baiklah akan kubiarkan kau bebas sekarang, tapi besok kau harus memperhatikan baju dan penampilanmu itu. Kau sebaiknya duduk bersama Egi, biar Ebiet yang duduk di depannya. Bertemanlah yang akrab, ya! Dahh, Bapak tinggal dulu” ucap pa andi sambil melempar senyum, sebelum akhirnya melangkah pergi.

***

“Oy, anak baru kulihat kau tadi kau tidak istirahat, kenapa? Apa kau sakit perut, tidak punya uang, atau makanan di sini tidak cocok dengan lidahmu?” ujar remaja dengan potongan caesar haircut itu.

“Aku tidak apa-apa, terimakasih telah memperhatikanku Egi” ucap rivan sambil tersenyum tipis.

“Aku tidak memperhatikanmu, Dasar!” ucap egi jengkel,”Hey, Lia! Boleh aku menghajarnya”

“Ja-ja-jangan” ucapku terbata-bata.

“Jangan, egi bodoh!!” ucap rara sambil menjitak egi.

“Arghh!! Sakittt!!” ucap egi sambil memegang kepalanya.

“Aku engga ikut-ikutan, loh” seru ebiet.

‘Pletakkk!!!’

Tiba-tiba jitakan keras ikut menyambar kepala ebiet.

“Jiah, aku kena lagi” ucap ebiet pasrah.

“Rivan~~ Kamu pulang ke mana? Rumah kamu di mana? Kenapa kamu pindah ke sini, oh benar juga pasti mau ketemu denganku kan, iya kan, iya kan?” ucap rara manja.

“Aku? Aku tinggal di sekolah ini, emmm... Mungkin mulai sekarang”

“Apa!!” ucap kami terkejut.

“Tidak, aku bercanda.”

‘Kringgg.... kringgg... kringgg.....’

“Sudah, bel pulang sekolah.Nanti saja kita lanjut pembicaraan kita” ucap rivan.

***

         Sepuluh tahun yang lalu, di dalam ingatanku yang samar-samar. Aku teringat pernah berkunjung ke sebuah desa kecil di yogyakarta. Berhubung Ayah dan Ibuku yang saat itu sedang mendapat tugas untuk mewawancarai kepala desa setempat yang berhasil membuat desanya terkenal menjadi desa pariwisata, tentu saja mereka mengajakku karena mereka pikir ini kesempatan untuk mengajakku berlibur disela kesibukkan mereka. Aku ingat, sang kepala desa adalah orang yang baik, rajin, dan ramah kepada penduduk serta pada kami. Saat ayah dan ibu pergi bersama kepala desa, aku bermain di rumah kepala desa dengan seorang anak perempuan yang seumuran denganku dan juga ibunya, yang kuketahui mereka merupakan anak dan istri kepala desa. Aku selalu bermain dengan mereka, saat itu bagiku yang tidak mengetahui betapa mengasyikkannya permainan-permainan ini, membuatku betah berlama-lama berada di desa.
Tiga hari setelah itu, peristiwa mengerikan terjadi di rumah itu. Kepala desa meninggal di ruang kerjanya. Seluruh penghuni rumah termasuk kami, datang ke ruangan itu. Aku tidak ingat kasus itu lebih rinci, yang kuingat wajah depresi dari sang ibu yang menangis sesenggukkan dan sang anak yang diam terpatung di pelukan ibunya.
Kandanghaur, 31 Juli 2016.

         Aku membuka kembali tumpukan kasus yang pernah diliput oleh ayahku, kebetulan ayah dan ibuku merupakan reporter bebas, walaupun mereka tidak terikat oleh sebuah perusahaan, tapi mereka merupakan reporter terkenal dan banyak dinanti-nantikan beritanya.
Aku membaca dalam hati isi klipping kasus itu,” 27 Desember 2006, terjadi pembunuhan di desa dengan korban kepala desa dan terbunuh oleh racun arsenik. Korban meninggal di dalam ruangan kerjanya, setelah itu di temukan bahwa korban saat itu sedang menyambut tamu dan keadaan AC saat itu sedang menyala. Telah diperiksa tujuh saksi, dua pembantu korban, istrinya, seorang reporter dan istrinya, dan dua saingan korban dalam pemilihan kuwu yang akan dilaksanakan tahun 2007. Korban bernama Ridwan, dua orang pembantunya bernama Tana dan Tini, istrinya bernama Balqis, reporter dan istrinya bernama Alvan dan Aurel, sedangkan saingannya di pemilu adalah saudara Sigit dan Liman. Tersangka dari kasus ini adalah saudara Sigit, dengan motif menghilangkan saingan untuk pemilu, karena saudara Ridwan adalah favorit pemenang. Kasus ditutup dengan hukuman 20 tahun penjara, Saudara Sigit terkena pasal pembunuhan berencana.”

“Hmmm ...Aku masih belum mengerti dengan kasus ini, di sisi lain aku juga penasaran dengan anak itu” ucap rivan dalam hati.

“Rivan!! Kenapa kamu membuat ruang kerja ayahmu berantakkan seperti ini!!” gelegar sebuah suara yang kukenal persis. Menakutkan.

“Eh, Ibu ... Engga kenapa-napa kok, hehehe”

“Kenapa cengengesan? Aduh Rivan, ibu jadi capek kan membersihkannya” keluh ibu.

“Sini, Rivan bantu Bu” ibu tidak menjawab, dia hanya memberikan isyarat mata bahwa aku boleh membantunya.

“Bu, apakah Ibu masih ingat kasus Pak Ridwan di jogja dulu?” tanyaku.

“Hmmm ... Pak Ridwan yang kepala desa itu?”

“Betul, Bu. Di catatan ayah tertulis jika korban dibunuh dengan racun arsenik, di sini dituliskan kalimat ‘Keadaan AC saat itu sedang menyala’ secara tidak langsung ayah mengatakan bahwa sumber dari racun arsenik adalah dari AC ini”

“Hahaha, Ayah mu memang aneh, Rivan. Itulah alasan kenapa dia menerbitkan ke koran catatan yang lainnya, catatan ini hanya sebagai pemuas otaknya saja. Kau tahukan bahwa dia mengoleksi kasus-kasus yang pernah ia tangani”

        Saat ibu berkata seperti itu, aku teringat ekspresi marah ayah saat aku bermain di ruang kerjanya dan menyobek klipingan kasus-kasus ini,” Oh ya, Bu. Kenapa bisa tersangkanya sampai Pak Sigit, padahal Pa Liman dan yang lainnya bisa jadi tersangka.” tanyaku heran.

“Itu hanya permainan lidah, Rivan. Diantara banyaknya saksi tersebut ada yang berbohong, pertama Pak Liman dan Pak Sigit mengatakan untuk menghidupkan AC padahal Korban tidak terlalu suka dengan AC dan memilih untuk membuka jendela menggunakan AC alami. Tapi saat kejadian, pintu dan jendela semua tertutup, dan AC dalam posisi menyala.”

“ Apakah saat itu Cuma Pa Sigit dan Pa Liman?” tanyaku heran.

“Benar, saat polisi datang mereka menemukan AC dalam keadaan menyala, dan yang terakhir berkunjung adalah Pak Liman”

“Ha? Kalau yang terakhir berkunjung, Pak Liman kenapa Pak Sigit menjadi tersangkanya?”

“Pak Sigit tau, kalau Pak Liman ini orangnya tidak suka ruangan yang panas. Jadi saat dia berkunjung pertama kali untuk bertemu dengan Pak Ridwan dia memastikan ruangan itu agar benar-benar tertutup. Lalu dia pamit keluar, setelah selang beberapa detik Pak Liman datang. Dia mendapati ruangan itu sangat gerah sekali, jadi Pak Ridwan juga menyetujui untuk menyalakan AC. Ngomong-ngomong waktu kunjungan Pak Sigit Cuma lima menit dan Pak Liman hampir 30 menit. 
Jadi wajar saja jika Pak Liman ikut keracunan juga”

“Jadi Pak Liman juga terkena racun arsenik itu?”

“Betul, saat Pak Liman baru saja keluar dari ruangan itu, Pak Ridwan langsung kejang-kejang dan muntah hebat, saat dia ingin keluar dari ruangannya nyawanya sudah tidak tertolong. Pak Liman yang baru beberapa langkah juga mengalami gejala yang sama, tapi saat itu Aku dan Ayahmu yang baru kembali dari desa melihatnya dan memberikan pertolongan yang pertama, tapi saat kami ingin menolong Pak Ridwan nyawanya sudah tidak tertolong. Dengan sekali lihat Ayahmu dapat menyimpulkan ini adalah gejala racun arsenik. Oh, saat itu Ayahmu kelihatan sangat tampan” ucap ibu dengan rona merah dipipinya.

“Ayolah Ibu itu gampang, dengan melihat napas Pak Ridwan berbau bawang putih, muntahan yang berwarna hijau, terdapat mees lines dikukunya itu merupakan tanda-tanda keracunan arsenik kronik, bahkan saat kecil aku mengingat gejala itu” ucapku sewot

“Rivan, kamu gampang sekali sensi sih.” ledek ibu sambil mencubitku, “Setelah itu Pak Ridwan dan Pak Liman dilarikan ke rumah sakit dan hanya Pak Liman yang selamat.

“Suntikan intramuskuler kronik secara bertahap, bukankah itu cara pengobatan dari racun arsenik ini?”

“Betul, Nak. Tapi Pak Ridwan sudah terlalu banyak menghisap racun ini dan nyawanya tidak terselamatkan. Lagian arsenik ini bukan arsenik murni, melainkan sudah dalam beberapa penyaringan molar sebelumnya sehingga menyebabkan efek racunnya lebih kuat. Biasanya manusia masih memiliki waktu sekitar empat sampai sepuluh jam atau lebih jika arsenik itu arsenik murni sampai arsenik dalam penyaringan molar tahapan ketiga”

“Wah, aku baru tahu itu, Bu. Terimakasih infonya”

“Ya, sama-sama. Jangan sungkan untuk bertanya kepadaku Anakku”

“Hehehe, tentu saja. Aku akan menguras semua kemampuan Ibu” ucapku sambil melangkah pergi, setelah merapihkan ruangan itu,”Oh, ya Bu!” Langkahku terhenti, aku menengok lagi kepada Ibu,”Apakah Ibu ingat nama anak Pak Ridwan itu, terus bagaimana kondisi mereka sekarang?”

“Heh~~, kenapa kau menanyakan itu tiba-tiba?” tanya ibu heran, sedikit menggoda juga.

“Ti-ti-tidak apa-apa kok, Bu!” balasku kelabakan.

“Setelah kejadian itu, yang ibu tau Balqis membawa anaknya ke luar kota menuju kampung halaman dia ke rumah orangtuanya. Berhubung dia bukan asli orang jogja, dan yang asli orang jogja itu hanyalah suaminnya. Tapi Ibu tidak tau nama kota dan kampungnya itu.”

“Oh, begitu ya”

“Tidak usah memasang wajah sedih seperti itu” ledek ibu padaku.

“Siapa yang memasang wajah sedih!” ucapku sewot.

“Tapi Ibu ingat nama anaknya, karena warna rambut anehnya itu. Oh, ya dia dulukan mengidap kelainan gen di rambutnya. Emmm, warnanya abu-abu, eh bukan, putih ... Oh, bukan. Apa itu ya warnanya ...” ucap ibu kebingungan

“Perak”

“Iya, itu perak. Tuh, Kamu masih ingat’

“Siapa namanya, Bu!” ucapku tertunduk, sambil melangkah mendekat kutegakkan pandanganku, 

“Siapa namanya, BU!!!” aku berteriak. Entah kenapa aku jadi tidak sabaran.

“Eh? Bentar dulu, kalau tidak salah namanya itu Tasya” jawab ibu.

“Tasya???”
Bersambung ...




Pojok Pembaca
“Tapi Ibu ingat nama anaknya, karena warna rambut anehnya itu. Oh, ya dia dulukan mengidap kelainan gen di rambutnya. Emmm, warnanya abu-abu, eh bukan, putih ... Oh, bukan. Apa itu ya warnanya ...” ucap ibu kebingungan

“Perak”

“Iya, itu perak. Tuh, Kamu masih ingat’

“Siapa namanya, Bu!” ucapku tertunduk, sambil melangkah mendekat kutegakkan pandanganku, 

“Siapa namanya, BU!!!” aku berteriak. Entah kenapa aku jadi tidak sabaran.

“Jiah, Kamu jangan kepo sih!”

“Tapi, Bu—“

“Tapi, tapi. Dasar anak jaman sekarang bisanya membangkang saja!!”

“Tapi, Bu.”

“Sudah, diam!!”

“Oke”

“Oke, Cuma oke? Dasar tidak sopan”

“................”










Catatan Author
Yo, langsung saja! Petunjuk dalam kasus ini adalah ...
1.      AC
Kenapa dibilang AC? Ya, Rivan sudah bilang tadi bahwa adalah hal aneh jika kepala desa yang tidak suka AC menghidupkan AC di ruangannya. Istilahnya mungkin bisa masuk angin, atau engga kuat dingin. Kalau masalah pemasangan AC dirungan kepala desa yang tidak suka AC adalah hanya untuk formalitas saja. Jadi racun arsenik itu dalam bentuk cairan dan dimasukkan ke dalam AC, sehingga menyebabkan cairan arsenik itu tercampur dengan udara dari AC.
2.      Arsenik murni VS Arsenik saringan (kronik)
Seperti yang kita ketahui jika suatu zat kimia contohnya jika HCl 1M di saring menjadi bentuk HCl 2M maka sifat perusaknya akan semakin berkurang, tetapi jika Arsenik itu kebalikannya, jika As 1M disaring menjadi As 2M maka sifat racunnya semakin kuat.

Emmm .... mungkin itu saja, karena sebenarnya ini adalah kasus flashbacknya Rivan. Mungkin di kasus selanjutnya akan lebih menarik, keep read this, OK!



                                                                                       AUTHOR : Diemas Ariyasena










                                    catatan JURNALISTIK TIM : di tunggu komentarnya, dilarang kopas ya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar