Senin, 14 November 2016

Paradox Case eps.01



Kasus di gerbong kereta.
Jauh dari sebelumnya di tahun 1994, di mana saat itu masa kejayaan kepolisian di negara kepulauan kecil di timur asia, atau akhir abad 19 di mana masa kesuksesan detektif swasta pertama di Inggris atau detektif yang ikut perang dunia pertama dari belgia yang berkerja dengan ‘sel-sel kecil kelabunya’. Kita bukan sedang membahas mereka, sekarang di Indonesia tepatnya negeri terluas ke empat di dunia atau begitu sebutannya. Mungkin di sebuah negara berkembang ini potensi dari sebuah pemikiran berada di atas negeri yang lainnya.
Kandanghaur, 30 juli 2016.

Di sebuah sekolah negeri setempat.

“Biet, pulang sekolah jadikan?” sapa seorang remaja laki-laki berambut hitam dengan potongan caesar haircut.

“Jiah, jadilah! Inikan kesempatan besar, jarang-jarang loh kita dapat naik kereta gratis!” jawab seorang remaja laki-laki dengan gaya rambut classic undercut dengan pomade yang tebal di rambutnya.

“Dasar muka gratisan!”

“He ... he... he... Salah sendiri ngajak aku”

Ebiet Pratista dan Egi Satrio, nama dari mereka berdua, mungkin itu merupakan bagian dari percakapan harian mereka dan mungkin aku juga tidak terlalu tertarik dengan percakapan mereka. Yah, tapi itu bukan berarti aku tidak peduli dengan mereka, mereka juga temanku. Bagi orang yang kuper seperti diriku, punya teman yang peduli denganku merupakan sebuah impian besar yang dapat aku syukuri. Perkenalkan namaku Natasya Emilia, biasa dipanggil Lia. Aku dan kedua temanku, Rara Hardiyani, dan Agata Callie  bisa mengenal mereka melalui ekstrakulikuler misteri yang berada di Sekolahku. Mungkin terdengar aneh, yah, ini merupakan eskul hobby dan mungkin lebih tepat hanya di sebut perkumpulan orang yang memiliki hobby sama karena ini tidaklah resmi.

“Lia, kamu jadi ikut kan? Nanti kita ke sana naik dengan mobil Ayahku, ya!” sapa gadis berrmata biru itu.

“Emmm, nanti dulu deh, aku belum izin sama ayah aku” jawabku

“Ya, udah nanti pulang aku langsung mampir ke rumah kamu, sekalian izin ya, yaa!” balas Callie sambil memaksa.

“Okelah, jika kamu memaksa, aku engga mau kena omelanmu lagi”

“Hehehehe”

Tiba-tiba datang Rara dengan  terengah-engah, “Teman-teman gawat!”

“Ada apa?” tanya Callie.

“Aku lupa ngerjain PR” ucap rara tak kenal dosa.

“Pletakk!”, sebuah jitakan mendarat tepat di ubun-ubun Rara.

“Ahhh! Kenapa kau menjitak aku!” sungut Rara kesal.

“Sudah dibilangin, mengerjakan PR itu di rumah dan jangan berteriak seperti orang gila jika tidak ada sesuatu yang penting!”
 
“Tapi ini penting!”, ucap Rara serius, “Benarkan Lia?”

“Iya” jawabku sambil tersenyum kecil.

Begitulah tingkah mereka saat bertemu di kelas. Di kelas ini, kelas baruku di kelas XI, walaupun saat kelas X kami tidak sekelas. Aku bersyukur kami dapat dipertemukan di kelas yang sama begitu juga dengan teman eskul kami yang lainnya Ebiet dan Egi.
***
Tak terasa waktu pulang pun tiba, setelah mendapat izin dari ayahku. Aku, Rara, Callie serta tidak lupa Ebiet dan Egi pergi ke stasiun Haurgeulis, Indramayu. Kami rencananya akan pergi ke cirebon untuk menghadiri seminar misteri di sana. Kami berangkat ke stasiun menggunakan mobil pribadi milik Callie. Entah kenapa Callie sedang ingin naik kereta padahal perjalanan ke Cirebon bisa ditempuh juga dengan mobil.
Sesampainya di stasiun, kami turun bersama, tidak lupa kami berterimakasih kepada Mang Ujang, supir pribadi Callie tadi.

“Lia, ayo kita beli bakso dulu yuk!” ucap Callie mengajakku. Callie kali ini terlihat sangat cantik matanya yang bewarna biru langit menatapku teduh, rambutnya yang hitam panjang dibiarkan digerai dan diponi di depannya, rambutnya yang dibando dengan bando yang berwarna biru langit juga begitu selaras dengan penampilannya. Dia memakai kemeja biru muda panjang dengan garis merah di pinggirnya, celana jeans biru tua menambah kesan bahwa dia maniak warna biru.

“Tapi, bukankah keretanya sebentar lagi berangkat?” tanyaku heran.

“Hmmm, tapi kali ini aku setuju dengan Callie kita harus memakan bakso terlebih dahulu! Seorang Detektif tidak bisa berfikir jernih bila sedang lapar!” sahut rara semangat.

“Dasar! Kalian hanya membaca setengah-setengah, bahkan Holmes sendiri sulit untuk  makan saat belum bisa memecahkan sebuah kasus” sahut ebiet kesal.

“Betul sekali tuh, kalian seharusnya membacanya yang rajin!” sahut egi.

“Udah-udah jangan bertengkar ayo makan dulu” ucapku mencairkan suasana.


                                                                         ****

            Di kereta kami duduk dalam satu gerbong, gerbong yang saat kami masuk hanya terlihat sembilan penumpang termasuk kami. Kami berlima duduk di bangku terdepan, sedangkan empat orang lainnya dibelakang. Tiga baris dari belakang dibangku sebelah kanan terdapat kakek tua yang sedang tertidur pulas, di baris kedua dari belakang bangku sebelah kiri terdapat mahasiswa yang sedang mengotak-ngatik laptopnya, dan di baris terakhir terdapat ibu-ibu yang fokus dengan HP-nya dan seorang yang memakai jaket hijau yang menutupi kepalanya.

          Tiga puluh menit telah berlalu, dari perjalanan itu Egi dan Ebiet saling tidur tumpang tindih di kursi mereka di sebelah kanan, dan kami duduk disebelah kiri. Suasana tenang sampai seorang karyawati masuk ke gerbong kami dan menjerit dengan kerasnya.

“Kyaaa!!!”

Mendengar suara jeritan itu kami segera bergegas ke gerbong bagian belakang dan menemukan kasus pertama kami.
                                                                        ***

          Sirene polisi menggema dalam kereta yang di hentikan paksa, seluruh penumpang tidak boleh turun terlebih dahulu sebelum ada keterangan dari polisi. Kami bersembilan termasuk karyawati yang baru masuk tadi di interogasi terlebih dahulu.

“Maaf, kalian berlima sepertinya masih siswa SMA. Tapi, status kalian juga bisa berubah dari saksi menjadi tersangka karena berada di gerbong yang sama dengan mahasiswa yang membawa laptop ini” ucap seorang polisi dengan kumis yang tebal ke sana ke mari.

“Loh, Pak tidak bisa begitu! Bahkan kami tidak kenal dengan korban!” sanggah egi.

“Kami bahkan tidak mendekati mayat korban, bersentuhan dengan korban, berkontak mata dengan korban. Bagian mana yang membuat kami bisa jadi tersangka! Di sini ada empat orang lain lagi yang tempatnya lebih dekat dengan korban” tegas ebiet dengan marah-marah, hampir saja syaraf hijaunya keluar. Aku baru pertama kali melihat ebiet semarah ini.

“Betul, Pak. Ini belum ada bukti sama sekali! DASAR PAK RADEN!!” tukas rara sangar.
Kami berempat yang mendengar omongan rara tadi saling memandang satu sama lain, tawa kami yang hampir saja pecah, kami tahan. Memang benar polisi tersebut mirip, malahan banget. Mirip banget dengan tokoh pak raden di cerita Si Unyil.

“Benar, tapi kalian juga jangan nyolot begitu. Bagaimanapun saya lebih tua dari kalian, mengenai status kalian saya masih bilang itu kemungkinan, Mengerti?”

“Sebaiknya kalian tahan emosi kalian, mari kita tenangkan otak dan berfikir jernih” balas Callie.

“Betul, teman-teman” tukasku.

“Ehm, maaf Pak. Sepertinya aku sedikit batuk” seseorang datang kepada kami sambil berdehem.

“Nga? Siapa anda, coba buka tudung jaketmu!” ucap polisi tersebut.

“Sepertinya anda lupa saya, Pak Raden.” ucap pemuda itu yang ternyata seorang yang memakai jaket hijau tadi.

“Den Rivan!” ucap polisi tadi sambil tersentak kaget.

“Yo, Pa Raden. Apa kabar?” sapa pemuda tadi.

“Baik, Den. Aden sedang apa disi—bentar-bentar. Maaf sebelumnya, Aden jangan ikut campur dalam kasus ini. Ini sudah tugas Polisi mengurus kasus seperti ini. Sebaiknya Aden jangan ikut campur lagi, nanti pimpinan bisa marah!” ucap polisi tadi serius.
            Ebiet dan Egi yang tadi sedang menahan tawa sekarang saling memandangkan mata satu sama lain, sedetik kemudian tawa mereka pecah.

“HAHAHAHHAHHAHA” tawa mereka bersama.

“Biet, ternyata bener namanya Pak Raden”

“Ini nih yang namanya cocok tingkat dewa,”

        Tiba-tiba hawa menyeramkan mengitari bulu kuduk mereka, sosok menyeramkan yang memiliki kumis tersebut berdiri di belakang mereka. Sedetik kemudian kepala mereka berdua telah dipenuhi benjolan seukuran buah mangga.

“Ehm, maaf sebelumnya tapi kalian bisa pergi menuju gerbong berikutnya untuk di interogasi, karena sekarang giliran kalian” ucap pak raden tersebut.

“Ehh ...! tapi Pak—“ ucapku tertahan karena pemuda tadi memotong ucapanku, “Tidak perlu menginterogasi mereka karena pelakunya bukanlah orang yang berada di gerbong ini.”

“Den, tapi kenapa bisa begitu? Bisa saja kan pelakunya berada di gerbong ini, gerbong di mana korban meregang nyawa”

“Itu jawabannya gampang, tadi saat kereta baru berangkat kebetulan aku duduk di belakang korban dan kulihat tadi seorang yang memakai pakaian, celana, dan topi serba hitam datang menghampirinya. Itu sekitar 15 menit waktunya saat kereta baru berangkat. Dan coba lihat di lantai tempat mayat tadi ditemukan terdapat bekas es teh dalam kemasan yang tumpah kan itu merupakan bukti yang sangat kuat yang dibutuhkan di sini.”

“Oh ... aku mengerti, tolong dilanjutkan penjelasannya” ucap polisi tersebut.

“Oyyy!!! Bentar dulu aku belum mengerti!” tukas rara.

“Ya ampun Rara, masa begitu tidak mengerti!” balas Ebiet.

“Benar itu, Ra. Masa begitu engga ngerti juga” sambung Egi.

“Emang kamu ngerti?” tanya rara.

“Ngertilah, coba Callie jelasin.”

“Dasar,” ucap callie sambil menggelengkan kepala, “ Jadi, begini. Kalian bisa lihat kan ada bekas tumpahan teh di situ?”

“Iya” Jawabku.

“Coba perhatikan lebih baik, kenapa tumpahan teh tersebut alirannya tidak wajar, seperti ada benda yang di taruh di situ”

“Ohh, aku mengerti” jawabku, “ Benda tersebut mungkin saja kaki pelaku saat kejadiaan itu kan.”

“Betul sekali,” rivan mengikuti percakapan kami, “Cukup satu kunci lagi dan aku akan menemukan jawabannya, sudah jelas dia pelakunya hanya saja buktiku kurang kuat. Pak Raden apa yang dikatakan tim forensik terhadap mayat korban”

“Menurut laporan tim forensik, di dalam darah korban di temukan amatoxin dalam jumlah yang besar, tidak ditemukan reaksi apa-apa di mulutnya” ucap polisi lain yang mendampingi pak raden.

“Hmmm, aku mengerti, lalu di sana di dalam toilet apakah di temukan sesuatu? Berhubung sekarang kita berada di gerbong tiga dan kereta ini memiliki 5 gerbong, sedangkan tiap gerbongnya di pisahkan oleh toilet umum dan tiap gerbong memiliki 7 baris kursi kebelakang dan 3 kursi di kanan serta dikiri tiap-tiap baris, dan di antara kursi paling kanan dan paling kiri ada lorong untuk jalan kaki. Dan dengan kesaksian aku dan ibu itu, kami melihat orang yang berpakaian serba hitam datang menemui korban. Jadi, kusimpulkan pelakunya berada di gerbong ke empat dan gerbong ke lima, jadi orang yang menempati gerbong 1,2,3 tidaklah bermasalah. Apa itu salah, Pak Raden?”

“Seperti biasanya, itu benar, Den.”

“Baiklah, silahkan pak raden dengan para petugas lainnya menanyakan siapa saja orang yang lalu lalang menuju gerbong ke toilet di dekat gerbong ke tiga ini”

                                                                         ***

            Pemeriksaan terus berlanjut, sepertinya peran kami berlima hanyalah sebagai pelengkap walaupun kulihat teman-temanku ingin ikut ambil tindakan dalam kasus ini. Yah, sekarang aku menyadari menghadapi kasus di dunia nyata tidak seindah angan-angan kami. Kulihat Callie yang biasanya sangat antusias kali ini hanya bisa menatap tajam ke arah Rivan yang bolak-balik ke area TKP dengan seenak jidatnya. Aku akui, aku juga ingin ikut membantu, tapi apa daya polisi disekitar kami tidak membolehkan kami mendekati TKP.

“Dengan begitu, ada sekitar tiga orang yang pergi ke arah toilet dalam jangka waktu 15 menit setelah keberangkatan, Den. Orang yang pertama bernama Wahyu pemilik kedai kopi di daerah Anjatan. Dia pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya, tapi sekitar 10 menit kemudian dia baru keluar, dia orang terakhir yang memasuki toilet. Lalu, yang kedua Jaka seorang karyawan swasta yang sedang pulang kerja dia menggunakan toilet untuk buang air kecil dan setelah 3 menit kemudian dia keluar dari toilet tersebut.Lalu orang yang terakhir, tetapi pertama memasuki toilet tersebut adalah Nona Lusi, dia adalah seorang ahli jamur lulusan Institut di Bogor dan tinggal sendiri di kontrakkannya di haurgeulis dan Saudara Wahyu mendengarkan dia sedang menelepon saat itu. Dia berada di toilet sekitar 12 menit” Terang Pak Raden jelas.

“Lapor pak, di laptop korban di temukan banyak sekali foto-foto wanita dan saat korban tewas dia sedang ber-chatting dengan akun bernama Dewi Ayu dan di toilet di temukan pakain serba hitam di tong sampahnya dan di sekitar itu, maaf kalau tidak penting ada sebuah potongan selotip di lantai toilet.. Apakah akun ini perlu ditindak lanjuti?” ucap seorang polisi muda yang datang dengan tergesa-gesa.

“Hmmm, baik mungkin kita dapat menemukan jawabannya”

“Siap, Pak!”

“Berhenti, Pak Raden dan anda yang tadi melapor. Maaf kalau tidak sopan, menurut saya tidak usah. Karena dengan pernyataan anda barusan saya sudah mendapatkan trik dan motif dibalik semua ini” tukas Rivan dengan senyum kecil di bibirnya.

                                                                            ***

“Dasar! Dia sok banget” ucap Ebiet dengki,”Aku juga bisa seperti itu dengan petunjuk sebanyak itu”

“Betul, Biet. Malahan aku bisa menyelesaikan ini dua kali lebih cepat” sambung Egi.

“Sssttttt! Lihat dan perhatikan cara dia berkerja, dia adalah seorang mahir yang sudah ratusan berada  di situasi kali seperti ini.” ucap Callie.

Aku tak menyangka Callie yang biasanya tidak tertarik dengan orang di sekitarnya bisa berkata seperti itu.

“Aku akan melampauinya, aku berjanji!” sambung Callie

“Lia, ngomong-ngomong si Rivan, Rivan itu keren ya! Kalau dia bisa menyelesaikan kasus ini bisa-bisa aku kesemsem nih” ucap rara antusias.
Yah, aku tidak bisa mengelak itu. Dia pemuda yang tampan, tapi dengan potongannya yang urakan membuatku tidak merasa bahwa dia anak yang baik-baik. Intinya aku tidak suka.

                                                                       ***

“Yang pertama, biar kujelaskan. Saudara Wahyu hari ini anda memakai baju kemeja putih dengan setelan jas hitam dan dasi hitam, serta celana yang serba hitam termasuk sepatunya juga. Boleh kubertanya, anda akan pergi ke sebuah acara kan, itu acara penting?”

“Iya betul. Emmm, sebenarnya aku mau menghadiri pernikahan mantan pacarku.” ucap wahyu malu-malu.

“Baik Yang kedua saudara Jaka pernyataan anda kemungkinan yang paling kuat di sini, karena anda hanya menggunakan toilet selama 3 menit.Dari yang saya lihat si pelaku mendekati korban lalu menyuntikkan racun amotoxin yang sudah diekstrak sebelumnya dan si pelaku menunggu sampai korban benar-benar tewas, itu memakan waktu sekitar 7 menit. Buktinya pelaku tidak menghindar setelah es teh korban jatuh dan mengenai kakinya, dia tidak ingin orang-orang di sekitar korban merasa curiga padanya dan dia ingin memastikan kematian korban secara langsung” setelah berdiam diri sejenak Rivan melanjutkan penalarannya ,“Dan yang terakhir, Nona Lusi. Apakah anda saat itu benar-benar sedang menelepon?”

“Tentu saja, bukankah Saudara Wahyu sudah memastikannya, benarkan?”

“Iya, aku mendengarnya dengan sangat jelas” balas Wahyu.

“Hahaha, itu dia! Coba bayangkan, seorang wanita yang susah payah mencari tempat untuk menelepon dapat berkata dengan keras dan jelas sampai kedengaran oleh Wahyu, bukankah ini aneh?”

“Hmmm, itu masuk akal Den, tapi apa hubungannya Den Rivan menanyakan tentang berkunjung kesebuah acara pada Saudara Wahyu?”

“Tadi, Saudara Wahyu bilang bahwa dia pergi ke toilet untuk mencuci muka kan? Pernyataan dia benar dan dia sedang tidak berbohong. Jadi kusimpulkan dia bukan pelakunya?”

“Oy, kamu tau darimana coba jelaskan!” teriak ebiet dan tidak lupa egi menimpalinya,”Betul, kamu tau tau darimana!”

“Itu perkara mudah, kalian melihat lekukan bekas air di siku kemejanya Wahyu?”

“Iya” jawab egi, “memang kenapa?”

“Itu membuktikan bahwa saat dia mencuci mukanya dia melipat Lengan kemejanya sampai siku, itu menyebabkan air mengalir dan bermuara ke ujung sikunya, sehingga meninggalkan bekas air. Bukankah begitu Rivan?” jawab Callie.

“Betul sekali” jawab Rivan,”Dan yang dapat kusimpulkan dalam kasus ini adalah pelaku masuk ke toilet pertama kali untuk mencari tempat yang sepi, setelah itu pelaku menempatkan sebuah rekaman pembicaraannya di bilik toilet tersebut dan menguncinya dari luar dengan selotip tidak lupa dia berganti pakaian dengan pakaian serba hitam dan langsung menuju gerbong yang berada di depannya, yaitu gerbong korban  dan menyuntikkan racun Amotoxin kepada korban. Dan tentu saja korban tidak curiga karena dia mengenal pelakunya sendiri. Setelah itu dia kembali ke toilet dan mengambil rekamanmu berhubung Saudara Wahyu posisinya saat itu sedang membelakangimu jadi dia tidak tau kedatanganmu”

“Jangan-jangan pelakunya Nona—“ ucapku pelan.

“Yap, benar sekali. Pelakunya Nona Lusi!”

“Apa!!”

“Benarkan, anda yang melakukannya Nona Lusi? Berhubung anda hanya membawa ganti baju tidak beserta sepatu dan kaus kaki, anda pasti adalah pelakunya. Bekas teh yang berada di kaus kakimu bisa menjadi bukti yang kuat.”

“Jangan Bodoh, walaupun di kakiku memang benar ada tumpahan teh itu karena teh yang kuminumlah yang jatuh ke kakiku bukan tehnya korban! Terus kenapa Si Wahyu tidak melihatku, walaupun posisinya dibelakangku, kan dia sedang bercermin pasti dia melihat bayanganku kan?”

“Terus apa yang kau pikirkan jika saat itu Saudara Wahyu sedang memakai produk pencuci muka dan tidak bisa melihat karena itu?”

“Eh? Kok anda tau aku memakai pencuci muka?” tanya wahyu heran.

“Ckckckck, itu mudah. Anda ingin menghadiri acara penting mantan anda kan, berhubung anda masih mencintai mantan anda, anda ingin tampil beda. Dari sikap anda menggulung kemeja anda dan waktu yang cukup lama, yaitu 10 menit di toilet, akhirnya aku sampai pada kesimpulan ini.” ucap rivan mantap,” Dan bukti yang anda tanyakan, bukankah berada dalam kantong anda? Jarum suntik tadi, buktinya saat anda membuang baju itu tidak ditemukan senjata pembunuhan itu. Dan bukti yang selanjutnya adalah sidik jari anda yang berada dalam selotip, bukankah dengan bukti sebanyak ini tidak membuatmu menyerah juga?”

“Baiklah, coba periksa!” suruh pak raden terhadap anak buahnya.

“Siap, Pak!”

            Kulihat sosok perempuan muda yang tegar itu duduk tersimpuh tidak berdaya sambil meneteskan air mata penyesalan.

“Kau tidak mengetahui yang sebenarnya! Kau hanyalah anak muda yang hidup dalam limpahan orang tuamu, tau apa kau tentang sialan yang memerasku ini!”

“Aku tau motifmu membunuhnya. Dia sebenarnya adalah orang yang anda cintai kan? Tapi sayangnya dia adalah orang yang tidak setia dan menganggap wanita sebagai sumber uangnya”

“Diam Kau! Kau tidak akan pernah mengerti perasaanku!”

“Yah, aku selamanya tidak mengerti alasan orang sampai tega membunuh!”

Dengan ucapan terakhir dari Rivan itu, diantarkannya Nona Lusi menuju panggung kehidupan yang sebenarnya. Para polisi mengawalnya, dan membiarkan kita melanjutkan perjalanan lagi. Tapi, melihat waktu yang sudah sore kami memutuskan untuk kembali ke Indramayu.

“Oy, kalian semua!” teriak pemuda tadi yang baru saja jadi pemeran utama hari ini,” Tunggu dulu aku ingin bicara”

“Ini tidak baik bagi jantungku, Lia! Dia datang” ucap Rara malu-malu.

“Iya, aku taku kok, Ra.”

“Nga, kamu mau apa tuan sok detektif?” ucap ebiet sangar.

“Jangan-jangan, kamu mau mengganggu cewek-cewek cantik kami ya!” balas ebiet.

“Tidak, tapi setelah kumelihat gantungan yang ada di tas cewek berambut perak ini sepertinya aku merasa kita akan bertemu lagi, benarkan Lia?”

“Eh!? Kau tau namaku?”

“Ya, itu tidak penting. Sampai jumpa dikemudian hari, Lia dan, anu—eh—emmm ... Lia dan teman-teman. Dahhh!” ucap pria itu sambil berlari menjauh.

“Asem pria itu! Dia hanya tau namanya Lia saja!, betulkan Gi” ucap Ebiet geram,”tentu saja Biet!” balas egi.

“Apakah kau pernah bertemu dengannya, Lia?” tanya Calie serius.

“Engga kok, Cal. Beneran deh, sumpah!”

“Jangan sampai, kau menikungku ya, Lia!”      

“Itu tidak akan pernah terjadi, Ra! Beneran dah!” ucapku malu.

“Oke,” jawab rara, “ aku cuma mau menggoda kamu saja, kok. Pipimu engga usah sampai semerah itu, hehehe” 

“Dasar, R-A-R-A!”
Bersambung ...








 Pojok Pembaca

Kulihat sosok perempuan muda yang tegar itu duduk tersimpuh tidak berdaya sambil meneteskan air mata penyesalan.
“Kau tidak mengetahui yang sebenarnya! Kau hanyalah anak muda yang hidup dalam limpahan orang tuamu, tau apa kau tentang sialan yang memerasku ini!”
“Aku tau motifmu membunuhnya. Dia sebenarnya adalah orang yang anda cintai kan? Tapi sayangnya dia adalah orang yang tidak setia dan menganggap wanita sebagai sumber uangnya”
“Diam Kau! Kau tidak akan pernah mengerti perasaanku!”
Selamanya aku tidak akan mengerti perasaan wanita, yang menganggap dirinya selalu benar!!”














Catatan Author
Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan nikmat iman, islam, dan sehat sehingga author bisa menyelesaikan seri Paradox Case bagian pertama ini, sholawat serta salam tidak lupa kita panjatkan kepada junjungan Nabi kita, Nabi Muhammad SAW, karena dengan adanya beliau yang telah menuntun kita dari zaman kegelapan menuju taman terang benderang seperti saat ini.
Sebelumnya atas nama saya (author) ingin meminta maaf jika ada kesalahan kata-kata dan bahasa, dan jika ada pihak yang merasa dirugikan. Jika ada yang nanya maksud dari cerita ini itu apa, sebenarnya saya membuat cerita ini hanya untuk hobi semata dan membagi pengetahuan tentang kasus-kasus yang pernah saya baca. Saya membuat ini sebagian besar terinspirasi dari kasus yang pernah saya lihat sebelumnya dan tentunya kebanyakan fiktif, tapi apa salahnya kan berbagi pengetahuan? Jadi sebelum lebih jauh saya mengatakan, bahwa cerita ini hanyalah fiktif dan kasus di dalamnya ataupun trik dari pelaku jangan digunakan dalam kehidupan sehari-hari ya!
                                                                  ***
            Jika ada yang belum mengerti dalam kasus ini, saya akan memberikan beberapa petunjuk yaitu:
-          Teh yang ditumpahkan oleh korban dan mengenai sepatu pelaku.
-          Mengenai racun amotoxin itu ditemukan di salah satu jenis jamur di dunia, jadi jelas si Lusi yang mengerti tentang jamur sudah bisa dicurigai sejak awal, seperti kata Rivan,” Betul sekali,” rivan mengikuti percakapan kami, “Cukup satu kunci lagi dan aku akan menemukan jawabannya. Aku belum memiliki bukti yang kuat”
-          Selotip aneh di toilet
-          Suara Lusi yang menelepon dan terdengar jelas oleh Wahyu.
-          Korban yang banyak menchatting wanita di laptopnya, merupakan salah satu motif pelaku. 62 813-1296-2079





                                                                                             AUTHOR : DIEMAS ARYA SENA



     

    Catatan blogger jurnalistik : Di tunggu komentarnya :)


2 komentar: